Jepara, NU Online. Tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama) menjadi penting jika dibandingkan dengan ikut dalam peperangan. Hal tersebut termaktub dalam kandungan Surat at-Taubah: 122. Meski keduanya sama-sama dihukumi fardu kifayah tetapi tafaqquh fiddin bisa menjadi fardu ain jika penduduk di sebuah perkampungan tidak ada yang mendalami ilmu agama. Demikian pesan taushiyah KH Sya’roni Ahmadi dalam Tahtiman Akhirussanah pondok pesantren “Roudlotul Huda” desa Margoyoso, kecamatan Kalinyamatan, Senin (18/7) kemarin.
Menurut Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tafaqquh fiddin yang ia maksud adalah nyantri di pondok pesantren. Dijelaskannya, dalam menuntut ilmu di pondok jika santri belum paham apa yang diuraikan guru lekaslah bertanya. “Jika pada saat mengaji belum paham penjelasan kyai segeralah bertanya. Jangan sampai dipikir-pikir sendiri apalagi dipas-paskan tetapi harus atas penjelasan detail dari sang guru,” tuturnya.
Ia pun menyontohkan sebuah kisah Dulkalim yang mendalami Wudu. Pak Modin guru ngajinya menjelaskan fardunya Wudu ada enam, adapun yang kelima membasuh kedua kaki. Dulkalim seusai penjelasan, lanjut Kyai Sya’roni bertanya kepada Pak Modin tentang seseorang yang tidak mempunyai kaki. Oleh guru, seseorang yang tidak mempunyai kaki tidak perlu membasuh kaki. Begitu juga ketika hanya memiliki satu kaki yang dibasuh hanya satu kaki.
Singkat kisah, suatu ketika Dulkalim mengunjungi kediaman Ahmad, temannya. Saat waktu shalat tiba ia meminta Ahmad mengantarkan ke tempat Wudu. Oleh Ahmad ditunjukkanlah padasan (tempat wudu yang terbuat dari tanah). Dulkalim baru pertama kali melihat benda itu dan bingung untuk mulai berwudu. Dibuka tutup padasan airnya keluar, akhirnya ditutup kembali. Hingga airnya hendak habis.
Ia pun mulai berwudu. Ternyata ketika hendak membasuh kaki kiri air telah habis. Ia pun teringat dengan Pak Modin ketika hanya mempunyai satu kaki hanya membasuh satu kaki. Ia pun mengibaratkan demikian, hanya membasuh satu kaki.
Saat shalat ia diminta Ahmad untuk menjadi Imam. Awal mulanya ia tidak berkenan kemudian ia pun bersedia. Dulkalim memimpin jalannya shalat tetapi mulai takbir hingga salam ia mengangkat satu kakinya.
Kyai Sya’roni menambahkan pada titik itulah pentingnya santri untuk bertanya kepada kyai ketika belum paham. Setelah paham, tambahnya kewajiban santri adalah menjalankan maupun menularkan ilmu yang didapatkan dari pondok kepada orang lain.