JAKARTA – Pengacara Dharnawati, Farhat Abbas menegaskan bahwa berdasarkan Berita Acara Penyitaan dan Penahanan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya, disebutkan bahwa setoran dana sebesar Rp1,5 miliar ditujukan kepada Menakertras Muhaimin Iskandar.
“Berita Acara Penyitaan dan Penahanan KPK itu menyebutkan dana (Rp1,5 miliar) tersebut buat Menteri (Muhaimin Iskandar). Tidak menyebutkan buat Ketua Umum PKB, tapi Menakertrans,” kata Farhat Abbas saat diskusi di Press Room DPR RI terkait kasus suap di Kemenakertrans di Jakarta, Kamis (15/9).
Menurut Farhat, penyebutan tersebut sudah menjadi resiko Komisi Pemberantasan Korupsi. Farhat menyakini KPK tidak gampang menyebut nama seseorang tanpa ada bukti yang memadai secara hukum.
Farhat menceritakan, seseorang bernama Acos menelepon Plt Bupati Manokwari dan mengadu bahwa Dharnawati tidak komit karena tidak mau menyetor 10 persen dimuka untuk proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah transmigrasi. Acos juga mengancam akan mengalihkan proyek itu agar dimenangkan oleh pengusaha Jakarta. Lantas Bupati Manokrawi menelpon Dharnawati dan menyampaikan ancaman Acos tersebut.
“Klien saya bilang nanti laporkan KPK dan bilang kementerian apa ini. Klien saya tidak mau setor, karena tahu itu tidak boleh dan memang tidak ada uang,” jelas Farhat.
Namun, imbuh Farhat, Dadong dan Nyoman dua pejabat Kemenakertrans tidak kehilangan akal. Saat mau lebaran mereka beraksi.
“Dadong menelepon Dharnawati dan bilang menteri (Menakertrans) pinjam Rp1,5 miliar, tapi lebihkan menjadi Rp1,6 milliar,” katanya.
Meski begitu, Farhat tidak menyimpulkan apakah Menaketrans terlibat secara langsung atau tidak. Karena Dharnawati mengakui tidak pernah bertemu dan komunikasi dengan Muhaimin.
“Klien kami diancam kalau tidak setor bisa bahaya. Dadong yang SMS. Dadong menyatakan uang itu untuk pak Menteri,” kata Farhat.
Setelah uang itu diterima, imbuh Farhat, Dadong tidak membuat kuitansi tanda terima. “Karena alasannya buat apa buat kwitansi, karena uangnya buat pak Menteri. Uang awal di mobil, namun saat diperiksa sudah ada di ruangan Direktur Jendral (Kemenakertrans),” tambahnya.
Awalnya, lanjut dia, masalah itu tidak melebar, justru dari kedua pejabat Kemenakertrans tersebut keluarlah nama Menakertrans. “Berita Acara penahanan dan penyitaan itu jelas sebut nama pribadi dan jabatannya. Sekarang Nyoman dan Dadong lempar badan seolah-olah mereka ini adalah korban pak Menteri yang tidak bertanggungjawab,” katanya.
Menurutnya, kliennya tidak pernah setor 10 persen untuk Banggar DPR. “Tapi, unsur paksaan dan pemerasaan itu ada, ini dibuktikan SMS dan rekaman telepon.”
Terkait dirinya membeberkan isi berita acara, Farhat mengatakan, itu tidak masalah. “Surat berita acara itu bukan sifat rahasia. Kita tidak keberatan KPK menyerahkan kepada Ketua RT, RW kelurahan. Yang jelas isinya tidak berubah.”
Pihaknya, kini menunggu apakah KPK bisa menemukan bukti, siapa pengusaha dan perusahaan apa saja yang sudah setor 10 persen, siapa saja anggota Banggar yang terlibat. “Klien kami hanya korban,” pungkasnya.
Sumber: JPNN