Jakarta, NU Online
Selepas Isya, Selasa, 20 September kemarin, tak biasanya area pegadaian Kramat Raya, Jakarta Pusat terlihat semarak. Di kiri kanan jalan, tampak umbul-umbul dan bendera hijau, berlambang bola dunia yang dilingkari tali dalam ikatan longgar, diterangi sembilan bintang.
Kemudian ratusan orang berbondong-bondong menuju aula Langen Palikrama. Muncul KH Sahal Mahfudh, KH Said Aqil Siroj, KH Tolchah Hasan, KH Malik Madany, KH Masdar F Masudi, H Slamet Effendi Yusuf, segenap pengurus PBNU. Hadir Mahfud MD, Taufik Kemas, sejumlah duta besar negara sahabat dan tamu undangan lain. Hadir pula warga NU dari berbagai daerah, beragam profesi. Rata-rata mereka berpakaian batik dan berpeci hitam. Ada pula yang bersarung dan berbaju koko. Mereka menghadiri halal bihalal warga NU 1432 H.
Kedatangan mereka disambut dua sosok separuh baya berpakaian serba hitam. Uniknya, rambut kedua orang itu gondrong sebahu, bergelombang berwarna hitam kemeraahan. Ketika ada kiai muncul, bergegas merundukan badan, kemudian menjabat telapak tangannya seraya menciumnya. Dan jika ada peserta yang menyapanya, akan tersungging juga selarik senyum. Keduanya merupakan pasukan inti dari Pagar Nusa. Pagar NU. Pagar kiai.
Sambil menunggu acara dimulai, peserta menikmati makan malam yang terhidang. Terciptalah kerumunan-kerumunan kecil, saling bertanya kabar, obrolan ringan, diselingi tawa renyah yang mengembang. KH Sahal Mahfudh, KH Said Aqil Siroj, KH Malik Madany, Mahfud MD, dan Taufik Kiemas duduk dalam satu meja. Ny Nurhayati Said Aqil, Khofifah Indar Parawansa, dan anggota Muslimat juga duduk dalam satu meja dengan akrab. Meja-meja yang lain juga tak kalah akrabnya.
Jarum jam mendekati angka 8. Acara pun dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Quran dengan merdu. Kemudian sang qori memimpin pembacaan solawat Badar, solawat kebangsaan NU. Solawat ini diciptakan pada tahun 1960-an oleh KH Ali Mansur, Jember. Ia merupakan salah seorang cucu dari kiai KH Muhammad Sidiq. Konon solawat untuk para sahabat Nabi yang gugur di lembah Badar ini digunakan warga NU untuk menandingi Genjer-genjer di tahun 60-an.
Kemudian hadirin diperkenankan berdiri untuk menyayikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam setiap acara NU, buah karya WR Supratman ini tak pernah absen.
KH Said Aqil Siroj yang mengenakan batik ungu, berpidato tentang fitrah bangsa Indonesia yang majemuk, pentingnya saling memaafkan, tentang NU itu tawazun, tasamuh, dan i’tidal. Ia juga menekankan bahwa halal bi halal adalah Islam yang menyapa tradisi, karena Islam tanpa tradisi akan kering dan hampa.
Acara kemudian ditutup dengan pembacaan doa dari Rais Aam, KH MA Sahal Mahfudh. Segenap peserta, mengangkat kedua telapak tangan, dengan muka tertunduk, hanyut dalam lantunan suaranya yang dalam dan berat.
Ritual terakhir adalah saling berjabat tangan. Segenap warga NU saling bermaaf-maafan. Yang muda meminta maaf kepada yang tua, yang tua melapangkan dadanya. KH. Sahal Mahfudh duduk di kursi menjadi medan magnet utama. Kang Said, mencium tangannya, disusul KH. Malik Madany, rektor UI, ketua mahkamah konstitusi, ketua MPR RI. Mereka sangat menghormati kiai sepuh asal Kajen ini. Disusul kemudian Segenap warga NU beriringan. Mereka bermaaf-maafan, menyingkirkan kerikil-kerikil tajam yang tanpa diduga pernah tercipta.
Menjelang berpisah juga masih tercipta obrolan-obrolan yang hangat dan santai.