Semarang, NU Online
Ribuan orang menghadiri pengajian tahlil dalam rangka Haul (peringatan kematian) ke-111 Kiai Soleh Darat, di Kompleks Pemakaman Bergota Semarang, Jum’at (9/9).
Ratusan kendaraan, terdiri bus-bus mini, colt conthang (mobil bak terbuka), mobil pribadi maupun sepeda motor memadati jalan-jalan sekitar kuburan Bergota. Terutama di Jl Kiai Saleh. Kedatangan jamaah silih berganti, mulai jam tujuh pagi.
Pengunjung didominasi warga asal Kendal. Namun peziarah yang datang dari Semarang, Demak, Ungaran, Kudus dan luar kota lain juga banyak. bahkan ada yang dari luar provinsi Jawa Tengah, melihat dari plat nomor kendaraan yang diparkir di Jl. Kiai Saleh.
Haul yang diisi tahlil berjamaah diorganisir oleh Jamaah Pengajian Ahad Pagi. Menurut ketuanya, KH Muhammad Muin, jamaah pengajian itu didirikan Oleh Kiai Soleh Darat, KH Abdul Hamid Kendal pada tahun 1939.
“Sepeninggal Kiai Abdul Hamid, jamaah dipimpin putra beliau, Kiai Ahmad. Setelah Kiai Ahmad meninggal, estafet kepada saya.
Jadi, sekarang pusatnya di Semarang, karena saya tingal di sini,” tutur Kiai Muin yang tinggal di Kampung Wot Prahu Semarang saat diwawancarai di rumahnya, pagi tadi.
Menurut sejarah, Kiai Soleh Darat wafat pada hari Jum’at Wage tanggal 28 Ramadan 1321 H/ 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun. Mengapa haulnya bukan 10 Syawal?
Dijelaskan Kiai Muin yang mengasuh Pondok Pesantren Nurul Furqon Wot Prahu, Kiai Abdul Hamid selaku mempertimbangkan kemaslahatan umat saat pertama menggelar haul dulu. Dipilihlah waktu setelah Syawalan (lebaran 7 hari setelah Idul Fitri) agar umat Islam bisa berkumpul untuk berdoa bersama dan ber-halal bi halal.
Muin menambahkan, keturunan Mbah Soleh Darat ada yang masih tinggal di dekat masjid peninggalan beliau, yaitu Masjid Kiai Sholeh Darat Jl Kakap Darat Tirto 212 Dadapsari, Semarang Utara.
Namun keturunannya yang berdakwah, tinggal di Bali dan mendirikan pondok pesantren di sana. Namun Muin mengaku lupa nama-namanya.
“Keturunan Mbah Soleh Darat ada di berbagai kota. Di Semarang ada, di kampung beliau di Dadapsari. Yang di Bali malah mendirikan pondok. Tapi saya lupa namanya. Maklum sudah tua,” ujarnya.