Surabaya, NU Online
Sudah bukan rahasia lagi kalau kader NU lebih banyak berada di pulau Jawa, terlebih di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pondok-pondok pesantren besar dan kiai-kiai ternama banyak berada di kedua provinsi itu. Sementara di kepulauan yang lain kadang masih kekurangan kader. Jadilah sebuah ketimpangan. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara pemerataan agar tidak ada penumpukan kader di Jawa.
“Hindari penumpukan kader di Jawa, perlu dipikirkan langkah penyebarannya,” kata Ketua PBNU Dr H Moh Salim Al-Djufri, MSosI.
Menurut Habib Salim, sapaan akrabnya, langkah penyebaran perlu dilakukan agar ada pemerataan kader. Dengan demikian tingkat kemajuan yang dicapai antara NU di Jawa dan luar Jawa akan menjadi berimbang, tidak timpang seperti yang selama ini terjadi, yang satu sudah sedemikian maju, yang lain malah masih jauh tertinggal.
“Ini penting, untuk perimbangan,” jelas Habib Salim, kepada NU Online di Surabaya pada Senin (26/9) siang tadi.
Tentu saja, menurut dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, banyak langkah yang dapat dilakukan. Di antaranya dengan mengirimkan kader seperti yang pernah dilakukan NU pada dekade 1960-an lewat lembaga Missi Islam. Caranya, beberapa kader digembleng di Jakarta, lalu dikirim ke daerah yang membutuhkan. Di sana kader ini tinggal untuk waktu yang cukup lama. Bahkan bisa sampai satu tahun, lalu kembali ke daerah masing-masing.
Meski setuju dengan metode itu, namun Habib Salim lebih memilih cara sebaliknya, yaitu merekrut anak-anak setempat untuk dididik di Jawa. Setelah dinilai cukup, kader itu dikembalikan ke daerah asalnya. Cara kedua ini lebih efektif dan lebih berjangka panjang. “Karena penduduk asli, dia di sana bisa selamanya,” kata Habib yang asli Waingapu, Nusa Tenggara Timur itu.
Menurut mantan Kakanwil Departemen Agama Gorontalo itu, sebenarnya potensi pengembangan NU di luar Jawa masih terbuka lebar, sebab kebanyakan dari muslimin Indonesia sudah beramaliah seperti amaliah NU. Mereka juga melakukan ritual dan kebudayaan seperti yang dilakukan kaum Nahdliyin. Hanya saja dalam berorganisasi biasanya mereka mengambang. Tidak sedikit mengikuti organisasi yang platformnya malah bertentangan dengan NU.
“Tanpa perlu bersusah payah mengajak, cukup dengan lebih menghidupkan NU lagi di sana, insya Allah mereka sudah masuk NU, sebab akar budaya mereka sudah sama dengan NU,” papar mantan Rais Syuriah PWNU NTT itu.