Kelahiran pendiri NU
Sebelum lahir, tanda-tanda khoriqul ‘addah telah tampak pada jabang bayi Hadratus Syekh. Beliau berada dalam kandungan sang ibu selama 14 bulan. Masyarakat Jawa kala itu memiliki keyakinan bahwa masa kandungan yang panjang mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Sang ibu lebih yakin akan isyarat ini, karena dirinya pernah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit tepat menngenai perutnya yang sedang mengandung.
Pada Hari Selasa Kliwon tangal 14 Februari 1871 M, yang bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1287 H bayi yang ditunggu-tunggu ini akhirnya lahir dengan membawa suasana gembira di Pondok Gedang, sebuah pondok yang masyhur kala itu, terletak di Desa Tambak rejo – 2 km dari kota Jombang. Bayi istimewa itu, kemudian diberi nama Muhammad Hasyim. Kelak beliau terkenal dengan nama Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama yang dibelakang ini adalah nama ayahnya, Kiai Asy’ari.
Dikisahkan, dukun kandungan yang membantu kelahiran bayi Hasyim ini tercengang heran melihat proses babaran yang begitu lancar. Setelah mengamati wajah si bayi, dukun itu meramalkan kelak ia akan menjadi the founding father -pemimpin dan panutan seluruh ummat. Selain itu ia juga meramalkan kalau bayi itu kerap menjadi pengantin baru. Ramalan sang dukun ternyata tidak meleset. Perjalanan hidup Hadratus Syekh penuh dengan berbagai kesibukan, mulai urusan nasionalis hingga religius . Di sela-sela perjelanan hidup beliau pula untuk sekian kalinya beliau menikah.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah:
- Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
- Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas;
- ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
- keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Garis Nasab
Sudah menjadi sunnatullah, dimana orang yang baik menunjukkan nasabnya juga baik. Tak terkecuali Hadratus Syekh, bila ditarik ke atas nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhmmad SAW, lewat Maulana Ishaq. Berikut rekapannya;
KH.M.Hasyim Asy’ari Tebuireng bin KH.M.Asy’ari Keras bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdurrahman (Joko Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq (Ayah Sunan Giri) bin Ibrahim Asmoro (Palang Tuban) bin Jamaluddin Akbar al-Husaini bin Ahmad Jalaludin Syah bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Muhajir bin Alawi Hadramaut bin Muhammad Shahibu Marbat bin Ali Choli’ Qosan bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Al-basri bin Muhammad An-naqib bin Ali Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW. [1]
Ibunya, Nyai Halimah, adalah putri dari pasangan Kiai Utsman dan Nyai Layinah. Kiai utsman adalah pendiri pondok pesantren yang terletak di sebelah selatan pondok Gedang. Karena beliau ahli thoriqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya. Ayah Nyai Layinah bernama Kiai Abdus Salam yang dikenal dengan gelar Kiai Sihah. Konon gelar itu diberikan karena kesaktian beliau ketika membentak musuh akan berakibat lumpuh tanpa daya. Kata “Sihah” diambil dari bahasa Arab “Shaihah” yang bermakna “bentakan yang menggeledek”. Pada tahun 1938, beliau mendirikan pondok Gedang. Dari pondok inilah lahir ulama’-ulama ternama pada masanya. [2]
Hadratus Syekh juga sepupu KH. Wahhab Hasbullah. Ayahnya bernama Kiai Hasbullah, putra dari Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara kandung nyai Layyinah.
Ayah Hadratus Syekh bernama Kiai Muhammad Asy’ari, seorang ulama’ tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi Jawa tengah. Beliau adalah keturunan kelima Abdurrohman alias Joko tingkir. Menuntut ilmu ke berbagi pondok pesantren diantaranya Demak, Kudus, Jombang. Kemudian, tepatnya di desa keras beliau mendirikan pondok pesantren dan Masjid sebagai pusat pembelajaran serta peribadatan masyarakat sekitar. Dan di sanalah beliau dimakamkan. Menurut keyakinan masyarakat, tanah makam Kiai asy’ari dapat digunakan untuk pengobatan.
Rihlah Ilmiyah
Ketika usianya mencapai delapan tahun, Hasyim kecil menerima didikan dari sang Ayah hingga usianya 13 tahun. Sebelumnya ia telah dididik oleh kakeknya di pesantren Gedang.
Ketika usinya telah genap 15 tahun, dengan disertai doa dan restu orang tuanya, Hasyim memulai mengembara thalabul ilmu di pondok pesantren di tanah Jawa. Diantara Pondok yang pernah beliau singgahi adalah; Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan, Langitan Tuban, Tenggilis Surabaya, ponodok Siwalan Panji Sidoarjo, lalu di pondok yang paling masyhur kala itu, asuhan Syaikhona Khalil di Demangan Bangkalan Madura.
Beliau masih belum puas dengan apa yang telah didapatnya dari pesanten di Jawa. Maka kemudian sekitar tahun 1892 M. beliau pergi mekkah untuk memperdalam ilmu disana. Diantara gurunya ialah; Syekh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfudzh At-Turmusi, dan Syekh Khatib Minagkabau, Syekh Ahmad Amin At-Ththar, Syekh Ibrohm Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmatulah dan Syekh Bafaddhal, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Dagistani, Sayyid Abdullah Az-Zawawi, Sayyid Ahmad Bin Hasan Al-Athas, Sayyid Alwi Bin As-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, Sayyid Husain Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Di sana beliau juga berguru pada ulama’ asal nusantara yang sangat masyhur di tanah Arab. Mereka itu ialah; Syekh Muhammad Nawawi, asal Banten, Syekh Ahmad Khathib Asal Minangkabau, Syekh Mahfudz asal Tremas, Syekh Abdus Syakur, asal Surabaya dll. Dari Syekh Mahfudz At-termasi, beliau mendapatkan ijazah sanad kitab-kitab hadits, yang kelak menjadikannya sebagi ulama pertama yang mengajarkan kitab hadits di tanah Jawa. Berikut sanad kitab shahih bukhori;
Syekh Muhammad Hasyim Asy’ary al-jumbani dari Syekh Muhammad Mahfudz ibn Abdullah At-termasi dari gurunya Syekh sayid abi bakr bin Muhammad Syata al-Makki dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dari Syekh ‘Utsman bin hasan ad-dimyathi dari Syekh Muhammad bin ‘Ali as-syanwani dari Syekh ‘Isa bin Ahmad Al-barawy dari Syekh Ahmad ad-dafry dari Syekh Salim bin Andullah al-Bishri dari Ayahnya Syekh abdullah bin salim al-bishry dari Syekh Muhammad bin A’lauddin al-babily dari Syekh Salim bin ahmad as-sanhuri dari Syekh an-njm Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi dari Syekh al-islam zakariya bin Muhammad al-anshary dari Syekh al-hafidz Ahmad bin ‘Ali bin hajar al-asqalany dari Syekh Ibrahim bun Ah,mad at-tanukhy dari Syekh Abi al-abbas Ahmad bin Abi Thalib al-hijar dari Syekh al-husain bin al-Mubarak az-Zaibidi al-hanbaly dari Syekh Abi al-waqt Abdl Awwal bin ‘Isa as-sajazy dari Syekh abi al-husain abdl rahman bin mudzaffar bin Dawud ad-dawudy dari Syekh abi Muhannad Abdullah bin Ahnad as-sarkhasy dari Abi Abdullah bin Muhammad bin Yusuf al-faribary dari sang pengarangnya al-imam Abi Abdullah Muahammad bin ‘Ismail al-Bukhary bin Ibrahim bin al-Mughirah bin bardazabah rahimahullah wa nafa’ana bihi wa bi ‘ulumihi Amin[4]
Bersama teman-temanya di mekkah –yang berasal dari Afrika, Asia Selatan, Asia tengah, dan Arab-mereka pernah berikrar di depan multazam. Tepatnya pada malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. “Demi Allah kami akan melakukan perjuangan di jalan-Mu untuk menjunjung kalimat Islam, mempersatukan umat, dengan menyebarkan ilmu dan kesadaran. Serta memperdalam agama demi mendapatkan ridha-Mu tanpa mengharapkan harta, kedudukan, ataupun jabatan bagi diri sendiri.”
Tebuireng sebagai Qiblatnya Pesantren
“Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Kalau manusia itu sudah baik, lantas apalagi yang perlu diperbaiki. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dalam berjuang.”
Pernyataan tersebut pernah dikemukakan oleh Hadratus Syekh dalam rangka menegaskan tekadnya untuk mendirikan pesantren di Tebuireng. Mula-mula keinginan Kiai Hasyim ini tidak disetujui oleh kawan-kawan sesama kyainya. Sebab kala itu desa Tebuireng adalah desa yang sudah amat parah akan kemungkarannya. Dimana perzinahan, perjudian, taruhan, perampokan, mabuk-mabukan dan adu ayam sudah menjadi kebiasanna masyarakat Tebuireng.
Langkah awal Kiai Hasyim untuk mendirikan pondok ialah membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (sekitar tahun 1899 M). Lalu untuk banguanan awal beliau mendirikan sebuah teratak bambu yang luasnya hanya sekitar 10 meter peresegi. Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah. Separuh untuk tempat tinggal Kyai Hasyim dan keluarga, sepetak lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan dan beribadah para santri. Santri generasi awal tercatat hanya 8 orang. Kemudian dalam tempo tiga bulan, jumlah santri bertambah menjadi 28 orang.
Setelah berhasil mendirikan pondok di desa Tebuireng, seperti lazimnya pesantren kala itu. Kiai Hasyim tidak memberi nama lain untuk pondoknya tersebut. Beliau lebih memilih nama pondoknya adalah nama desa itu sendiri, yakni Tebuireng. Hal ini seperti kasus pondok Tambakberas, Sidosermo, Bloagung, Tegalsari, Pabelan, Langitan, Krapyak, Lirboyo, Maskumambang, Lasem, Sarang, Sidogiri, dll. Sang pendiri tak memberi nama lain kecuali nama dimana pondok itu berdiri.
Ada tiga versi mengapa desa tersebut dinamakan Tebuireng. Versi pertama mengatakan; desa Tebuireng pada asalnya bernama kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, di daearah tersebut ada seeokor kerbau yang terendam di dalam lumpur. Di dalam lumpur tersebut terdapat banyak lintah. Ketika ditarik menuju daratan, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Versi kedua; nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam yang berdomisili di sana. Versi ketiga; di sekitar desa tersebut memang tumbuh banyak pohon tebu yang berwarna hitam. Hingga karena saking banyaknya, pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Cukir, dekat Tebuireng.
Namun demikian, kedatangan Kiai Hasyim di Tebuireng bukan berarti masyarakat setempat menerima dengan baik. Berbagai gangguan dan rintangan telah mengancam beliau dan para santri. Saban malam mereka harus berjaga, sebab kalau tidak nyawa akan melayang terkena tusukan benda tajam dari masyarakat.
Melihat peristiwa seperti ini, Kiai Hasyim berusaha keras untuk mengamankan situasi. Beliau meminta bantuan kepada para kiai di Cirebon yang terkenal akan keampuhannya itu. Mereka itu ialah; Kiai Sholeh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syansuri Wanantara, Kiai Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Abbas. Selama kehadiran lima Kiai tersebut, tratak yang merupakan cikal bakal pondok Tebuireng menjadi tempat pelatihan silat dan ilmu hikmah lainnya. Guna sebagai bekal menghadapi para musuh yang kian lama semakin menjadi-jadi.
Kerja kerasnya tak sia-sia, musuh yang terhimun dari para preman dan geng desa Tebuireng tunduk takluk di hadapan Kiai Hasyim. Bahkan diantara mereka ada yang minta diajarkan ilmu beladiri dan ilmu hikmah. Bahkan tak sedikit pula yang menjadi murid Kiai Hasyim. Belajar, mengaji dan beribadah di dalam tratak kecil itu.
Keberadaan pondok Tebuireng semakin diakui oleh masayarakat luas. Bukan hanya Tebuireng dan Jombang saja. Banyak orang-orang dari berbagai daerah ikut mondok, menuntut ilmu kepada Kiai Hasyim. Tercatat pada tahun 1915-an, santri Tebuireng telah mencapai 2.000 santri yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Pondok Pesantren Tebuireng mendapat pengakuan resmi oleh pemerintah belanda pada 6 Pebruari 1907.
Pada zaman belanda, Tebuireng tak lepas dari gangguan. Bahkan suatu ketika tentara belanda menghancurkan dan mengobrak-abrik isi pondok. Banyak bangunan yang dibakar. Kitab-kitab yang mereka gunakan mengaji juga dibakar. Kejadian ini bermula, karena Belanda tidak senang akan Kiai Hasyim yang sangat berpengaruh waktu itu. Berbagai macam tuduhan dan fitnah terus dilontarkan, hingga terjadi kerusuhan besar-besaran antara santri dan kolonial.
Kiai Hasyim menanggapi peristiwa ini dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki”.
Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.
Ad-Da’wah Bil Qalam
Tampaknya tidak ada orang yang tak mengenali siapa KH M. Hasyim Asy’ari. Perjuangannya hingga kini masih terasa, diantaranya peninggalan beliau yang berupa organisasi Islam terbesar yang beliau dirikan pada 1926 dengan nama “Nahdhatul Ulama”. Tetapi sedikit sekali dari mereka yang mengetahui bahwa KH Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana.
Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat, membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50 tamu.
Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab at-tanbihat al-wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul ziyadah at-ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syekh Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.
Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah ).
Sangatlah sulit untuk dibayangkan, betapa sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas, Penasehat, Pembimbing para pejuang Pembela anah air, menyempatkan diri unuk menulis. Sungguh sebuah semangat yang jarang dimilki oleh kebanyakan kiai.
Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.
Adapun karya-karya Hadratus syekh yang dapat di telusuri dan dinikmati hingga saat ini diantaranya ialah:
1. Al-Tibyan fi an-nahy ‘an muqathaah al-arham wa al-aqarib wa al-ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’
3. Risalah fi ta’kid al-akhdz bimadzhab al-aimmah al-arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5. Arba’in haditsan tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’
Kelima kitab Hadratus syekh di atas yaitu,at-tibyan, al-qanun al-asasy, risalah, dan arbain dikumpulkan menjadi satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.
1. An-Nur al-Mubin fi mahabbah sayyid al-mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman yashna’ al-maulid bi al-munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi hadits al-mauta wa syrat as-sa’ah wa bayan mafhum as-sunnah wa al-bid’ah. Risalah ahli sunnah wal jama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la mandzumah as-Syekh ‘abdullah bin yasin al-fasuruani . Tambahan yang berhubungan atas nadzm syekh abdullah bin yasin Fasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi bayan ahkam an-nikah. Cahayanya sebuah yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Mutiar yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-rahman bi syarah risalah al-wali ruslan li Syekh al-islam Zakariya al-anshari. Komentar atas kitab fath ar-rahman penjelas kitab risah al-wali ruslan karya Syekh al-islam Zakariya al-anshari.
8. Ar-rsalah at-tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-qalaid fi bayani ma yajib min al-aqaid.
10. Ar-risalah al-jama’ah.[2]
11. Ar-risalah fi al -’aqaid. Menerangkan aqidah
12. Ar-risalah fi at-tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tashawwuf
13. Adab al-‘Alim Wa al-Muta’allim fima yahtaju ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limih wa ma yatawaqqaf ‘alaih al-muallim fi maqat ta’limih .Sopan santun orang yang alim dan pelajar
Dari sekian banyaknya karya Hadratus Syekh, kitab adalah yang paling fenomenal. Menjadi salah satu bidang study di berbagai lembaga pendidikan. Juga sering dijadikan bahan pembahsan mahasiswa dalam membuat tesis atau skripsi.
Di samping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikan Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadu domba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapi oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitthohnya.
Dari Komite Hijaz hingga Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang biasa disebut Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan.
Di kalangan pesantren muncul pula organisasi-organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar ini adalah tokoh muda, KH Abdul Wahhab Hasbullah (pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka KH. Hasyim Asy’ari bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan sama, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia Islam atas rencana Raja Ibnu Saud tersebut, sehingga rencana itupun digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya tentang rencana tersebut, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Namun dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum juga datang. Kiai Hasyim Asy’ari sangat gelisah. Dalam hati kecilnya beliau ingin berjumpa dan membicarakan hal itu kepada gurunya, KH Khalil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di sana, tepatnya di Bangkalan Madura, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami KH. M. Hasyim Asy’ari. Kiai Khalil kemudian mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada KH. M. Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada KH. M. Hasyim Asy’ari.
Ketika KH. M. Hasyim Asy’ari menerima kedatangan pemuda As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan dan pendirian organisasi tersebut belum juga terealisasi. Agaknya KH. M. Hasyim Asy’ari masih menunggu kemantapan hati untuk mendirikan organisasi itu. Sampai suatu ketika, tepatnya pada tahun 1925, pemuda As’ad kembali lagi menemui Hadratus Syeikh.
”Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Khoili di lehernya. As’ad belum pernah menyentuh tasbih tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tasbihnya akan tersentuh. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Khalil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahar di setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua kalinya ini membuat hati Hadratus Syekh semakain mantap. Hadratus Syekh bisa menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan jika kelak ia bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah organisai/jam’iyah. KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap bahwa inilah jawaban yang dinanti-nanti melalui salat istikharahnya. Namun sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Akhirnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi itu telah lahir dengan nama jam’iyah Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. KH. M. Hasyim Asy’ari dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarkan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran para madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh ini mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang telah belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi beliau menolak pemikiran Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatannya dengan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai di Jawa dan Madura, pada akhirnya berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Tak heran jika saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhona Waliyullah” maka KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadratus Syekh”. Gelar Maha Guru ini muthlaq diberikan kepada Kiai Hasyim sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat seperti KH. Abdul Karim, pendiri PP Lirboyo kediri, KH. A Wahhab Hasbullah, PP Tambak beras, KH. Romly, PP Darul ulum, dll.
Meski beliau menyandang banyak gelar – seperti yang dituliskan dalam taqridz atas kitab sirajut thalibin karya Kiai Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas untuk mendapatkan gelar tersebut.
Terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau. Disana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti Kiai, haji, syekh, alim, apalagi a-allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu menulis kata-kata al-faqir (yang faqir), al-haqir (yang hina), sebelum namanya disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.
Umat Islam Bersedih Ketika Beliau Mangkat
Bagaimana pun hebatnya manusia hidup di dunia, pasti maut akan menjemputnya. Tak terkecuali, Hadratus Syekh sebagai manusia biasa, beliau di panggil Allah SWT untuk selama-lamanya pada malam bulan Ramadhan. Tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1366 H. atau 21 Juli 1947 M. Meski semua masyarakat tahu tanggal wafatnya Kiai Hasyim, namun karena wasiatnya, beliau tidak kerso di khouli.
Waktu itu, tepatnya pukul 9 malam, Hadratus Syekh kedatangan tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Tamu istimewa tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu, Bung Tomo memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.
Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah menemui Hadratus Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami salat Tarawih dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu akan berpengarauh buruk bagi moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang akan membantu pengungsian Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Kiai Ghufron, yang mendampingi beliau, memberi laporan, bahwa kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim tampaknya semakin resah melihat keadaan yang kian lama kian terpojokkan. Sambil memegang kepala, Kiai Hasyim berkata dengan nada kaget dan prihatin: “Masya Allah, Masya Allah…”. Tak lama kemudian beliau tak sadarkan diri.
Di saat mendengar kabar kalau beliau tak sadarkan diri, putra-putrinya berkumpul dengan rasa panik. Dokter yang memeriksanya mengatakan, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (hesemblonding) yang sangat serius. Penyakitnya semakin menjadi, sehingga tepat pada pukul 03.00 dini hari, Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un musibah besarpun terjadi. Ulama’ yang paling disegani seantero jazirah Islam kala itu, telah menghadap ilahi rabbi dengan damai dan sentosa.
Kepergian Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, bukan hanya membawa kesedihan untuk umat Islam di Indonesia, di negara luar pun ikut berduka. Mereka amat merasa kehilangan seorang tokoh dan figur yang mereka banggakan.
Semoga apa yang beliau tempuh selama hidupnya dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya balasan. Dan semoga dengan kepergian Kiai Hasyim, muncullah Hasyim Asy’ari yang lain, baik dari dzuriyah, kerabat, santri, maupun kaum muslimin. (dari berbagai sumber).