Surabaya, NU Online
Menyandang gelar sebagai tempat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara, masih terus membuat para pejabat di Jawa Timur risih. Bagaimanapun, selama ini Jawa Timur telah menyandang gelar kota santri, karena pondok pesantren terbesar dan terbanyak berada di daerah ini. Untuk itulah usaha untuk menutup lokalisasi yang ada di Jawa Timur masih terus dilakukan.
“Terus terang, banyak pejabat yang mengaku risih,” kata KH Abdurrahman Navis, Lc, MHI, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur kepada NU Online di Surabaya pada Sabtu (24/9) siang.
Untuk itulah MUI Jawa Timur tetap berikhtiar dan fokus dalam menangani masalah tersebut. Bila sebelumnya telah menawarkan dana antara Rp 2,5 hingga Rp 4 juta kepada para WTS yang mau berhenti dan pulang kampung untuk tidak kembali lagi, kali ini MUI Jawa Timur akan menggelar halaqah tentang proses pengentasan mereka.
Halaqah yang bertemakan “Membangun Kota yang Bersih dari Asusila” itu akan dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2011 di hotel Garden Palace. Acara ini akan mengundang Gubernur Jawa Timur, Walikota Surabaya dan Ketua Tim Penutupan Lokalisasi Blitar sebagai pembicara utama. Selebihnya juga mengundang para bupati , walikota dan Ketua MUI se-Jawa Timur, para pegiat LSM, Ormas, tokoh agama, tokoh masyarakat, para da’i di kawasan lokalisasi (Idial) dan juga para germo (mucikari).
Menurut Kiai Navis, sulitnya penutupan lokalisasi dilakukan karena adanya kepentingan tertentu yang masuk di dalamnya, baik kepentingan ekonomi maupun politik. Kepentingan ekonomi jelas, karena perputaran uang di tempat lokalisasi sangat tinggi, baik untuk kencan, membeli minuman keras atau (mungkin) juga narkoba. Sedangkan kepentingan politis, karena di tempat lokalisasi biasanya partai tertentu selalu unggul mutlak dalam pemilihan umum maupun Pilkada.