Tak banyak orang tahu tentang pergulatan keislaman Munir SH, pejuang HAM dari Kontras. Dan kepada Kajian Utan Kayu, ia menumpahkan pergulatannya itu. Selama ini, Munir yang menjadi ikon dari pejuang demokrasi, kerap bersuara kritis terhadap penindasan, kekerasan negara dan ketidakadilan melalui LSM Kontras dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Apa yang melandasi kiprah dan aktivitas Munir dalam menyuarakan demokrasi dan HAM? Adakah Islam menjadi energi bagi pilihan hidup yang ia ambil sekarang ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab Cak Munir, mantan aktivis HMI, dalam wawancara yang dilakukan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang disiarkan Radio 68 H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 1 Agustus 2002:
Mas Munir, sebagai pejuang HAM, Anda tentu memiliki pandangan yang menarik tentang bagaimana Islam bermakna dalam profesi Anda. Dapatkah Anda menceritakannya?
Saya kira begini, dulu saya pernah mengikuti jalur beragama ekstrim, yang “radikal.” Kurang lebih 5 hingga 6 tahun antara tahun 1984-1989, isi tas saya tidak pernah kosong dari senjata tajam. Itu atas nama pertikaian agama. Sebetulnya, ketika saya berada dalam ruang ekstrimitas agama, ada semacam perasaan kehilangan fungsi agama itu sendiri. Misalnya, saya mempertanyaakan: Apakah benar, Islam memerintahkan saya untuk menjadi sangat eksklusif dalam beragama dan atau menutup diri dari komunitas lain? Pada masa itu, mulai ada pertentangan dalam diri saya: Apakah Islam itu untuk Allah ataukah untuk manusia atau untuk membangun masyarakat secara umum?
Dalam situasi tarik-menarik pada masa itu, saya menemukan bahwa agama diturunkan untuk manusia. Saya setuju dengan Gus Dur, kalau Tuhan tidak perlu bodyguard untuk mengawal diri-Nya. Intinya, agama harus menjadi maslahat bagi manusia. Seringkali kita bicara masalah rahmat Islam untuk semesta, tapi kita tidak tahu maknanya. Akhirnya, ekstremitas itu saya tinggalkan karena saya tidak mungkin menjadi komunitas yang eksklusif. Karena Islam harus mendukung peradaban, maka dia harus bekerja pada wilayah-wilayah yang memang memperbaiki kehidupan manusia. Agama dipergunakan untuk memperbaiki kehidupan.
Sebaliknya, ekstremitas beragama itu bisa menghancurkan peradaban manusia. Intoleransi, apapun bentuknya akan menghancurkan peradaban. Banyak orang beranggapan bahwa mereka sedang membangun. Akan tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol yang menghancurkan peradaban.
Pengalaman kehidupan Anda menarik bila dikaitkan dengan banyaknya orang yang lebih enjoy menjadi member of second community —entah agama atau etnis—ketimbang menjadi orang Indonesia?
Saya kira, kadang bentuk-bentuk perbedaaan itu melahirkan ekstremitas. Tidak hanya agama, tapi etnis juga. Ekstremitas itu selalu saja memutlakkan diri sendiri dan menafikan orang lain. Ini kadang-kadang terjadi tidak hanya antaragama, tapi juga antar faksi-faksi berfikir dalam agama. Itu antara lain dapat kita baca dari sejarah Indonesia; berapa banyak darah tertumpah atas dasar perbedaaan cara berfikir faksi-faksi agama. Anti gerakan tarekat misalnya, pengasingan orang dan pembunuhan, semuanya atas nama ekstremitas. Dari situ, seolah-olah hidup ini menjadi perang memperebutkan kapling di surga yang berapa hektarnya pun belum bisa kita diukur. Ini yang menjadi masalah.
Ada yang menarik dari uraian Anda tadi. Tadi Anda mengaku mengalami masa ekstrimitas beragama, lantas berubah. Pada titik mana terjadi perubahan itu?
Berubah ketika saya berhadapan dengan antitesia lain yang saya kira juga cukup ekstrim. Yaitu, mempertanyakan kembali tentang apakah beragama itu kekuasaan? Nah, itu pertanyaan dari dosen saya kala itu, Bapak Malik Fadjar (ini Menteri Pendidikan Nasional, Red). Dia mengatakan: “Saya tidak pernah mengetahui seorang pemuda sebodoh Anda, yang kemana-mana membawa semangat untuk berperang dengan instrumen agama, demi menguasai orang lain.” Menurut dia saya orang yang amat liberal. Bagi saya, Islam itu amat liberal dan dapat menerima perbedaan-perbedaan. Islam tidak punya kewenangan, ketika dia tidak bisa memberikan tempat bagi yang lain. Nah, pertanyaan “bagi yang lain” itu, betul-betul menjadi antitesis dari pikiran-pikiran mainstream di beberapa kelompok yang waktu itu saya ikuti. Aliran ekstrim yang saya ikuti, ternyata tidak memberikan ruangan pada yang lain.
Anda shock ketika Pak Malik Fadjar mengingatkan itu pada Anda?
Saya shock sekali. Ini saya ingat betul karena saya tidak pernah berkeringat di kota Malang yang dingin, kecuali dari statement itu. Tapi saya telah menemukan sesuatu, yang bersifat inspiring (mengilhami, Red),
Tahap yang kedua, kebetulan dulu saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan saya mempunyai seorang mentor di HMI. Kritik Pak Malik kedua mengatakan: “Kau pelajari deh, Islam yang benar! Kalau kamu Anak HMI, baca deh Nilai Identitas Kader (baca: Nilai-nilai Dasar Perjuangan atau NDP). Nah, dari situ dievaluasi, apakah benar HMI untuk perang-perangan atau menjalankan misi sosial?”
Setelah saya pelajari, saya menemukan, Islam mengakui bahwa dalam relasi sosial ada ketidakadilan; ada yang menzalimi dan yang dizalimi; Islam harus memihak pada pihak yang dizalimi. Jadi, Islam tidak memihak kepada Islam, tapi memihak pada yang dizalimi demi menciptakan keadilan. Dan Islam itu, saya kira keadilan, bukan untuk menciptakan eksklusivisme sebagaimana yang kita lihat. Temuan itu memang membuat saya terpisah dari komunitas “ekstrem” di mana pertama saya tumbuh. Tapi saya menemukan komunitas baru yang bisa menerima perbedaaan-perbedaaan. Saya kira, normal saja kalau dalam kehidupan, kita menemukan antitesis-antitesis yang menawarkan Islam dengan watak sebenarnya.
Anda beruntung mengalami masa ekstrimitas, menemukan mentor yang baik dan mendapatkan pencerahan-pencerahan. Nah, untuk yang sekarang dalam fase ekstrimitas, bisakah mereka menemukan pencerahan seperti Anda?
Saya kira bisa. Hanya saja, persoalanan utamanya terletak pada ekstrimitas yang berorientasi pada kekuasaan politik, ketimbang pemahaman yang dalam tentang pahitnya intoleransi dengan pihak-pihak lain. Jadi, ekstrimitas akibat haus jabatan politik itu lebih berbahaya daripada semata-mata karena ia dangkal secara keagamaan. Nah, sekarang ini, saya kira, gejala ekstremitas lebih banyak bernuansa politik. Bukan ekstremitas dalam bingkai keyakinan yang sifatnya lebih mendasar.
Pendapat Anda yang menyebut ekstrimitas lebih sebagai gejala politik ketimbang gejala keagamaan itu menarik sekali. Bisa berbicara lebih spesifik lagi?
Ya, saya kira, ekstrimitas banyak lahir manakala situasi sosial-politik memungkinkan terbangunnya suatu model keterdesakan. Jadi, situasi sosial-politik itu menempatkan komunitas-komunitas ke dalam situasi ancaman terus-menerus. Meskipun, kemudian memang ada justifikasi-justifikasi keagamaan yang memberikan pembenaran atas kondisi keterdesakan secara politik terhadap ruang (space) kekuasaan. Ini dapat dilihat misalnya dari pembenaran terhadap penggunaan ayat-ayat yang mengatakan, bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela dan seterusnya (walan tardlâ ‘anka al-Yahûd wala al-Nashârâ hattâ tattabia millatahum, Red). Ini dilakukan orang, tanpa melihat konteks sejarah mengapa ayat itu muncul, dan dalam kondisi seperti apa dan lain-lain. Tapi, itu diintrodusir terus menerus, seolah-olah permusuhan dengan Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah berhenti, suatu yang permanen, merupakan keputusan Allah yang diciptakan untuk sepanjang masa.
Nah, saya kira, banyak penggunaan justifikasi-justifikasi untuk kebutuhan-kebutuhan tatkala ada persoalan keterdesakan. Keterdesakan itu dapat muncul dalam bentuk politik populasi atau jumlah, seperti ketakutan akan islamisasi ataupun kristenisasi. Di masing-masing agama, ada kekhawatiran semacam itu. Ada juga yang merasa, space agama akan tertutup, ketika Islam kalah secara politik, sehingga orang khawatir akan susah salat di masjid, susah mengaji. Perasaan itu menjadi ancaman serius yang mendorong kita harus menguasai dan lain-lain. Juga ada keinginan untuk memaksakan kewajiban agama, karena dengan begitu dia merasa beragama secara benar.
Dalam konteks ini, muncullah gagasan-gagasan keharusan negara memaksakan agama. Ektremitas akhirnya muncul dan berkembang di wilayah-wilayah semacam itu. Sementara, ketika masalah politik populasi agama tidak menjadi soal, orang tidak perlu menjadi ekstrim terhadap isu-isu yang membuat mereka mengumpul dan mengeras. Misalnya, orang yang tidak meminta negara sebagai alat agama tidak akan menjadi ekstremis yang giat memaksakan negara dengan atribut agama. Nah, gejala ini yang saya kira lebih muncul dan berkembang kuat ketimbang yang lain. Ini termasuk gejala internasional, dimana kegalauan terhadap dominasi negara-negara besar, dengan mudah memicu model ekstremitas tertentu dengan agama.
Itu kan menyangkut cara pandang tertentu: memandang Islam terancam dari banyak arah sehingga harus melawan. Menurut Anda, apakah pemandangan semacam itu cukup tepat?
Saya kira, cara pandang terhadap agama memang banyak ditentukan konteks di mana suatu masyarakat hidup. Makanya, mazhab-mazhab dalam Islam juga hidup dalam konteks dan pembelajaran sejarah masing-masing. Kalau dilihat dalam konteks itu, bisa saja agama menjadi alat resisten bagi mereka yang ditindas. Tapi, semestinya muncul tidak dalam bentuk ekstrimisme agama yang melawan terhadap sesama, yang sebetulnya tidak dapat diidentifikasi sebagai penindas. Saya sepakat kalau Islam menjadi enerji bagi kaum tertindas untuk melawan penindasan. Tapi bukan dalam bentuk perang melawan agama tertentu. Misalnya saja, relasi kita menjadi miskin bukan karena ada Kristen, tapi lebih karena ada kekuasaan modal, struktur dan lain-lain. Saya kira, agama bisa menjadi energi bagi orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap penindasan, asalkan lawannya jelas. Tapi, tidak lantas agama menjadi alat manipulasi kekuasaan untuk menghantam lawan-lawan, dengan simbol yang meneriakkan slogan kafir, murtad dan lain-lain.
Jadi agama lebih tampak sebagai simbol perlawanan yang bersifat vertikal?
Simbol perlawanan vertikal, memang. Sebetulnya, saya meyakini, Islam menawarkan agama bagi orang yang tertindas; memberi jawaban terhadap problem sosial di mana orang ditindas tidak begitu saja diam, tapi memberi perlawanan. Sementara, elemen-elemen non-tertindas, secara langsung memiliki kewajiban untuk membantu mereka dan menjamin tercapainya titik yang diinginkan untuk memberhentikan penindasan. Itu yang saya kira disebut sebagai masyarakat Islam.
Dalam konteks semacam itu, jelas bahwa apa yang saya lihat dari ekstrimitas yang terjadi, bukan ekstrimitas dalam arti yang cupet seperti itu. Ini ekstrimitas space: menyangkut sebuah wilayah atau batas-batas kekuasaan. Bukan ekstiemitas yang menentang apa yang dianjurkan agama: memerangi penindasan; memerangi apa yang oleh agama dianggap nihil, yaitu kemiskinan. Memerangi kemiskinan adalah kewajiban, karena kemiskinan mendekatkan orang kepada kekufuran; membuat tiada, menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Maka, melawan kemiskinan adalah perintah dan penting bagi umat Islam. Nah, di ruang ini, Islam tidak menyuruh memerangi agama lain, tapi memerangi suatu model penindasan dan penciptaan pemiskinan secara tidak sah. Itu saya kira satu hal penting untuk menjadi landasan Islam untuk membangun masyarakat dan perdaban.
Apakah pemaknaan agama seperti itu yang memotivasi Anda untuk membela yang tertindas dan menjunjung nilai-nilai HAM?
Saya kira begini. Saya lahir dari suatu keluarga yang ketat dalam soal agama, dalam arti ketat yang normatif. Saya merasa, agama yang ketat dalam artian yang normatif itu tidak cukup. Beragama itu harus melampaui tapal batas normativitas yang selama ini dianut orang, seperti asumsi bahwa beragama cukup dengan salat lima hari dan lain-lain. Inilah yang dikritik Cak Nur sebagai kesalehan simbolik, saleh formal. Kita perlu ingat, bahwa dalam salat itu ada deklarasi-deklarasi, di mana orang diwajibkan menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Saya tidak bisa membayangkan kalau saya salat yang mendeklarasikan “inna shalâtî wanusukî wamahyâya wamamâti…” (sesungguhnya salat, ritual, hidup dan matiku…, Red) bercampur dengan korupsi dan ketidakpedulian terhadap kemiskinan dan lain-lain. Dengan begitu, saya adalah orang yang dikecam Allah sebagai orang yang lalai, menjadi tidak bermakna dan terhina.
Dalam konteks ini, ketika saya berani salat, maka konsekuensinya saya harus berani memihak yang miskin, dan mengambil pilihan hidup yang sulit untuk memeriahkan perintah-perintah itu, seperti membela korban, sebab saya telah menghadapkan wajahku. Menghadap kemana? Kepada keadilan. Kalau saya menipu proses-proses keadilan, ke mana wajah ini saya hadapkan? Padahal, deklarasi itu terhitung lima kali sehari kita lakukan ketika salat, bahkan lebih (salat sunnah, Red). Jadi, bagi saya, tidak ada alasan umat Islam untuk tidak berpihak pada yang tertindas. Itu menjadi pilihan dan keyakinan saya. Membangun masyarakat yang adil juga termasuk perjuangan membela agama. Masyarakat yang adil tidak mesti menuntut semua orang menjadi Islam, tapi bagaimana cita Islam tentang keadilan dapat hidup dalam masyarakat.
Secara pribadi, apakah Anda masih perlu mengidentifikasi diri sebagai muslim yang taat dan saleh ketika memperjuangkan keadilan, atau malah perjuangan itu sudah bertengger di atas nama-nama dan simbol-simbol?
Saya tidak tahu apakah dapat menilai diri saleh atau tidak. Yang jelas, saya adalah bagian masyarakat yang meyakini bahwa membangun keadilan yang inklusif dan tidak memihak pada diri sendiri, keadilan bagi semua, adalah enerji yang paling penting yang ditawarkan Islam. Saya akan meninggalkan Islam kalau tidak menawarkan itu. Saya memilih Islam kalau Islam menawarkan itu. Dan, saya tentu tidak bisa memaksa orang untuk mengakui bahwa Islam itu inklusif, maka kau harus ikut. Kalau begitu, Islam malah menjadi tidak inklusif. Tapi bagi saya, ketika mengambil pilihan, maka pilihan itu harus mengontrol perilaku saya.
Dalam proses itu, orang tidak perlu dipaksa untuk ikut dan dia punya hak untuk membangun proses-proses yang lain. Tapi, di atas itu, agama tetap menjadi enerji dan penting untuk memberi ruang demi melawan ketidakadilan. Dalam hal ini, saya masih meyakini bahwa Islam bisa diharapkan. Islam yang inklusif, tidak untuk dirinya sendiri, dan tidak untuk mengejar kekuasaan, masih menjadi enerji penting bagi kaum yang tidak diuntungkan.
Apakah Anda merasa nyaman bila berhadapan dengan ekspresi keagamaan yang masih menonjolkan simbol-simbol identitas?
Saya kadang membayangkan bagaimana kelompok non-muslim berhadapan dengan kelompok muslim yang menonjolkan atribut fisik keislaman dan merasa paling benar. Jangankan mereka yang non-muslim, saya saja yang muslim merasa minoritas kalau berhadapan dengan orang yang berjenggot panjang dan berkening hitam-hitam. Kadang saya merasa terancam dalam artian (khawatir) akan didominasi dalam ukuran-ukuran kebenaran. Menurut saya, (simbol-simbol identitas) ini, kontraproduktif dengan keharusan mengenalkan Islam itu sendiri. Menurut saya, atribut itu bagian produk budaya yang berkembang seiring peradaban manusia. Hemat saya, perlu ada pembedaan antara kultur Arab pada masa Nabi dengan Islam itu sendiri. Itu dua hal yang berbeda.
Jadi, tidak selamanya yang mendominasi Islam itu Arab, sehingga simbol-simbol budaya seperti pemakaian jubah menjadi otomatis Islam. Memakai jubah itu memang hidup di Timur Tengah. Orang Afganistan dulunya juga berjubah dan berjenggot, tapi tidak serta-merta mereka menjadi ukuran keislaman. Menurut saya, penggunaan simbol-simbol yang berpotensi menimbulkan distance atau jarak dengan yang lain, justeru merugikan Islam sendiri. Jadi harus dihindari. Kalau masyarakat bisa menerima, perilakunya tidak menjadi ancaman, maka itu wajar saja. Itu seperti kita melihat orang yang berdasi. Jadi perlu ditegaskan, bahwa memakai dasi atau jubah tidak menjadi ancaman, apalagi mendominasi kebenaran. Jadi, baju adalah kultur, bukan pembenar untuk dominasi. Saya kira begitu.
Sumber: Jaringan Islam Liberal Indonesia