Semarang, NU Online
Idul Fitri adalah hari raya bagi umat Islam. Namun yang benar-benar dirayakan adalah hari kedelapan dari bulan Syawal. Sebutannya Bakda Kupat.
Jika di hari pertama Bakda (atau disebut lebaran), orang hanya sholat Id lalu bersalam-salaman plus saling mengunjungi bersifat pribadi. Namun di pendhak dina setelah itu, ada acara yang bersifat massal.
Seluruh warga terlibat, seisi kampung berpartisipasi. Pemerintah level Kabupaten maupun ke bawahnya, sampai ikut pula, bahkan menjadi program resmi tahunan. Masuk dalam agenda pariwisata budaya.
Lihat saja di Rembang, Jepara, Kudus, Kendal, Wonosobo, Solo, dan lain-lainnya, ada tradisi yang disebut Syawalan atau Kupatan di hari Bakda Kupat. Di Jogja, malah acaranya level propinsi. Karena diadakan oleh Pemprov DIY sekaligus dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di sebagian daerah di Jawa Timur, ada sebutan Lebaran Lontong. Orang Madura sering menyebut ‘Telasan’. Hampir semua kota di seluruh Jawa menggelar acara besar terkait tradisi Kupatan ini.
Aneka macam acara digelar dalam tradisi ini. Ada yang diisi festival wisata perahu dan rekreasi pantai. Lengkap dengan pertunjukan musik dan pagelaran seni budaya. ini terjadi di Pantai Kartini Jepara maupun Pantai Dampo Awang (dulu dinamai Pantai Kartini) Rembang.
Ada pula yang diisi gerebeg atau festival kuliner yang khas. Seperti gunungan berisi penganan aneka rupa, namun didominasi kupat. Ada pula gelaran halal bi halal massal.
Yang kental budaya santrinya, ada ziarah kubur massal yang diikuti makan bareng. Sudah barang tentu, makanan utamanya adalah kupat dengan sayur opor ayam. Tak sedikit pula ditambahi dengan pesta petasan alias mercon.
Biasanya Dipusatkan di makam tokoh terpenting di suatu tempat atau di masjid jami’ suatu desa. Setelah doa bersama usai, masyarakat banyak berbondong-bondong ke tempat-tempat wisata terdekat.
Di Kota Semarang yang tak begitu ramai tradisi Syawalannya, masyarakat tetap membuat masakan khas Kupatan. Yakni opor ayam dan ketupat. Yang membedakan, di pasar-pasar, sehari sebelum Idul Fitri banyak bakul menjajakan selongsong kupat, di hari menjelang Bakda Kupat, yang dijual adalah ketupat matang.
Sementara di Kaliwungu Kabupaten Kendal, acaranya komplit. Kombinasi wisata religius dan festival modern, yang dimanfaatkan penuh oleh Pemkab Kendal sebagai agenda wisata tahunan.
Ribuan orang datang di kawasan sekitar masjid jami Kaliwungu dan berziarah di makam para wali penyebar Islam. Yakni makam Kiai Guru atau Kiai Asy’ari, Sunan Katong, Kiai Mustofa, dan Wali Sya’fak.
Namun banyak pula diantaranya yang sekedar mengunjungi pasar tiban di alun-alun depan masjid, untuk berbelanja pakaian ataupun mencari hiburan.
Menurut pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Tholibin Letah Rembang, KH Mustofa Bisri, besarnya perayaan Bakda Kupat berasal dari ajaran para wali dan ulama zaman dulu.
Diterangkannya, kaum muslimin oleh Nabi dianjurkan untuk berpuasa enam hari setelah lebaran Idul Fitri. Pahalanya sangat besar, senilai satu tahun berpuasa. Nah, para wali mengajarkan hal itu kepada masyarakat.
Lalu, demi merayakan kemengan besar berpuasa sunnah, setelah lunas puasa wajib Ramadhan, dibuatlah istilah Bakda Kupat. Ada makanan istimewa berupa kupat dan lepet sebagai simbol kegembiraaan atas keberhasilan itu.
“Di Rembang, memang suguhan kupat adanya di hari ke delapan. Bukan di hari pertama Bada (Bakda). Biasanya ditambah lepet. Ini karena merayakan kemenangan istimewa setelah berpuasa sunah enam hari setelah Idul Fitri,” jelasnya kepada para santri yang mengaji pasanan.
Tradisi lomban yang ada di Rembang, Jepara dan daerah Pantura lain, yakni berwisata naik perahu hias di laut maupun di kali, lekat dengan perayaan kegembiraan itu. Namun agenda wisata ini sering hanya diikuti anggota keluarga yang masih ada di kampung. Mengingat anggota familI yang merantau umumnya telah balik ke kota tempatnya bekerja.
Dengan Kupat, Syariat jadi Adat
Imam masjid besar Kauman Semarang, KH Bukhori Masruri menerangkan, para wali zaman dulu sangat canggih dalam berdakwah. Mereka mampu membawa syariat Islam yang rumit dari Bahasa Arab menjadi sesuatu yang mudah bagi masyarakat. Al-Qur’an yang penuh ayat diajarkan dengan pola yang tidak awrat (sulit; Jawa). Segalanya dibuat dengan pendekatan budaya, sehingga syariat jadi adat.
“Kalau sudah menjadi adat, maka orang tidak merasa agama itu sesuatu yang berat. Serba ringan dan enak dilaksanakan setiap saat. Sehingga muncullah sesanti di Ranah Minang, adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah”, terang mantan ketua PWNU Jawa Tengah ini.
Puasa Syawal yang berat, lanjutnya, dilakukan dengan cara tradisi. Jadinya tanpa terasa dan tanpa terpaksa. Apalagi ditambah ajaran tentang tirakat, seperti Kanjeng Nabi Muhammad yang biasa puasa Senin Kamis maupun puasa tiga hari di pertengahan bulan, membuat amalan puasa ringan dirasa. Tentu saja Ramadhan sangat ringan dijalankan. Karena sudah terbiasa.
Karena kehebatan dalam berdakwah itulah, lanjut dia, orang Jawa dan lainnya mudah menerima ajaran baru dan tanpa terjadi konflik. Islam adalah agama damai dan mengalir bersama kebudayaan lokal pemeluknya.
Asal Muasal Halal bi Halal
Selama ini masyarakat tidak tahu sejak kapan ada tradisi halal bi halal. Budaya khas Indonesia yang tak ada di negara Islam lain ini menurut Ustad Jujun Junaidy asal Malang, pelopornya adalah Menteri Agama zaman Presiden Soekarno. Yaitu KH Abdul Wahid Hasyim.
Dia ungkapkan, di tahun pertama jabatanya, Kiai Wahid Hasyim yang saat itu juga memimpin organisasi NU, mengalami dilema saat hari raya Idul Fitri. Di satu sisi ia ingin pulang ke Jombang bersilaturahmi dengan sanak famili, di sisi lain dia ingin menjadi pimpinan yang baik, yakni ingin berkeliling ke rumah-rumah bawahanya untuk memenuhi hak adami, yaitu meminta maaf.
Timbullah inisiatif untuk mengumpulkan seluruh bawahanya dalam satu majlis guna bermaaf-maafan.
“Majlis yang kemudian beliau namai Halal bil halal itulah awal adanya halal bil halal yang kita kenal sekarang. Selanjutnya ditiru oleh lembaga dan organisasi apapun di negeri ini”.