Jakarta – Draft Rancangan Undang – Undang Perlakuakn Khusus Provinsi Kepulauan (RUU PKPK) yang kini telah masuk di Badan Legislatigf (Baleg) DPR – RI. Akan selalu diperjuangkan dalam penyelesainya oleh politisi wanita Mirati Dewaningsih Tuasikal dari Fraksi PKB DPR – RI.
Menurut Miranti, dengan masuknya RUU PKPK sebagai Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi catatan dan kabar yang sangat menggembirakan, bagi masyarakat yang sudah lama berharap agar RUU tersebut dapat disahkan menjadi undang – undang.
“Lewat Fraksi PKB. RUU Perlakuan Khusus Propinsi Kepulauan dapat masuk dalam Prolgnas dan sekarang sedang diproses oleh Baleg dan kami akan selalu memperjuangkan untuk segera disahkan, kata Miranti yang juga sebagai anggota Komisi VI DPR.
Ditambahkannya, RUU yang selama ini telah diusulkan oleh Fraksi PKB kami anggap sebuah langkah yang lebih maju selangkah, karena saat ini RUU PKPK tersebut sudah menjadi agenda DPR secara kolektif.
“Saat ini tinggal bagaimana kita dapat mengawal proses ini semua secara bersama – sama, terutama anggota DPR dan DPD yang kita anggap sebagai perwakilan dari tujuh provinsi yang termasuk dalam kaukus kepulauan,” katanya.
Isi dari kaukus Provinsi Kepulauan meliputi, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Harapan Miranti, baleg dapat menyerap semua aspirasi RUU PKPK yang saat ini tenga dibahas. Terutama terkait dengan stakeholder. Dengan demikian ada harapan RUU PKPK dapat mewadahi kepentingan daerah kepulauan.
“Saya kira seluruh komponen yang terkait dapat memberikan urun-rembuk sehingga kepentingan dearah berbasis laut dan pulau dapat benar-benar terwadahi dalam RUU Perlakuan Khusus Propinsi Kepulauan,” kata anggota DPR asal Maluku ini.
Saat ditanya mengapa DPR menggunakan nama perlakuan khusus dan bukan otonomi khusus dalam judul RUU tersebut, Miranti menjelaskan, Otonomi khusus atau hak keistimewaan bagi sebuah daerah tertentu merupakan suatu jalan keluar yang terpaksa dalam menengahi persoalan bangsa atau konflik, seperti di Aceh dan Papua yang konteks kehidupan bernegaranya bersifat integralistik.
“Adanya permintaan penambahan otonomi khusus seperti yang dinginkan oleh tujuh provinsi, akan menimbulkan berbagai konsekuensi hidup bernegara, dan berdampak timbulnya tuntutan daerah lain untuk menuntut hak yang sama,” katanya.
Sekali lagi Mirati berharap, agar RUU tentang perlakuan khusus dapat lebih diterima oleh publik dibandingkan dengan memakai istilah otonomi khusus. Menurutnya, demham menggunakan istilah perlakukan khusus akan memudahkan pemerintah daerah untuk menggalang dukungan dari parlemen.
“RUU ini adalah sebuah kebutuhan yang dapat dikatakan urgen, realitasnya masyarakat berbasis laut pulau relatif belum bisa dikatakan sejahtera, sedangkan potensi Sumber Daya Alam bagi daerah berkarakteristik laut dan pulau, 80 persen-nya berada di laut dan hingga saat ini belum ada yang mengelola secara optimal,” katanya.
Sumber: dpp.pkb.or.id