Semarang, NU Online
Para tokoh agama sekarang banyak yang tidak meniru Rasulullah dalam berdakwah. Kalau Nabi Muhammad, mengajak berbuat kebaikan, maka ia sendiri menyontohkan. Memberi teladan.
Sedangkan orang sekarang, menyuruh umat dermawan tapi dia sendiri pelitnya tidak karuan. Justru yang bisa meniru Kanjeng Nabi, kata Gus Mus, adalah Soeharto.
“Pak Harto mengajak rakyat kaya, dia sendiri kaya. Mengajak meniru orang Barat yang kapitalis, dia menjadi kapitalis duluan,” tutur budayawan ini dengan nada canda, dalam Dialog Merajut Nilai Kebangsaan dalam rangka Memperingati 56 Tahun Yayasan Buddhagaya & Hari Sumpah Pemuda, di Ruang Serba Guna Vihara Jl Perintis Kemerdekaan Watungong, Semarang, Ahad 99/10).
Acara dihadiri seribuan orang tokoh dan umat berbagai agama, kepercayaan, etnis dan golongan. Juga dihadiri Wakil Walikota Semarang Hendrar Prihadi, pejabat Kanwil Kementrian Agama Jawa Tengah dan aktivis seni budaya serta para mahasiswa.
Kiai yang dikenal sebagai seniman dan budayawan ini mengatakan, umat manusia sudah dari sononya bermacam-macam. Andai Tuhan menghendaki, kata dia, mudah saja Tuhan membuat semua manusia sama. Tetapi Tuhan sengaja membuat umatnya seperti gado-gado.
Masalahnya, sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan, berbagai bahan gado-gado itu diblender. Dipaksa seragam. Sampai suatu masa, pada 1997, seluruh benda harus berwarna kuning, termasuk masjid.
Akibat dari itu, rakyat Indonesia tak terbiasa berbeda. Karena terdidik demikian, orang jadi benci perbedaan. Yang tidak sama diharamkan atau dianggap musykil. Inilah yang belakangan melahirkan gerakan radikal dan semacamnya.
“Kita terlalu lama diajari Pak Harto tidak boleh berbeda. Sehingga kita tidak siap dengan ketidakseragaman. Padahal dari sononya kita itu dikehendaki Tuhan beraneka rupa,” tutur kyai yang dikenal sebagai budayawan dan seniman ini.
Para pejabat pemerintah semasa Soeharto berkuasa, lanjut dia, selalu menggembar-gemborkan Pancasila, tetapi tidak pernah menguraikan isi lima sila itu. Pancasila dikorupsi, P4 juga dikorupsi, tak pernah dibabarkan isinya.
Sehingga, lanjutnya, orang bisa lupa dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia itu. Apalagi setelah Pancasila dijadikan alat represi politik. Siapapun yang tidak disukai langsung dituding anti Pancasila lantas ditangkap atau disingkirkan.
“Para pejabat dulu mengorupsi Pancasila. Lalu menjadikan sebagai alat politik yang sadis. Jadinya kita muak dengan itu. Mendengar kata Pancasila apalagi mengucapkan, kita ogah,” ujarnya seraya menerangkan pepatah Arab arrro’yatu ala dini mulkihim (rakyat itu tergantung apa agama/pedoman para pemimpinnya.
Kiai yang biasa berpuisi ini juga mengingatkan, rezim orde baru juga melakukan kezaliman terhadap etnis keturunan Tionghoa dan mengakui sendiri perjuangan bangsa sebagai perannya, orang lain dianggap tidak berjuang, maka hal itu ditiru sekelompok manusia kerdil pikiran zaman sekarang.
Sebagian pemeluk agama, apapu agamanya, tambah Wakil Rais Aam PBNU ini, meniru pola orde baru dalam menyikapi agamanya. Seseorang yang baru mengerti agama selevel SD atau SMP, merasa sudah tahu agama secara sempurna. Lalu mengangap dirinya benar dan orang lain salah semua. Akibatnya, berani mengkafirkan orang lain dan kemudian menumpahkan darah saudaranya.
“Beragama itu ada tingkatannya. Ibarat sekolah, mulai TK sampai perguruan tinggi. Masalahnya, ada yang baru setingkat SD atau SMP sudah merasa paling tahu agama. Lalu menyalahkan orang lain di luar diri atau kelompoknya,” tandas dia.
Ingatlah Sejarah
Dalam dialog yang dimoderatori Rektor Universitas Katholik Soegijapranata Semarang, Prof Dr Budi Widianarko, Bukkhu Vihara Buddhagaya Watugong Semarang, Banthe Dhammasubho Mahatera menyampaikan, negara tetap bisa utuh apabila bangsanya tidak melupakan sejarah. Rakyatnya tidak meninggalkan sastra budaya sendiri, dan pemimpinnya malu berbuat jahat, takut akan akibatnya.
Negara-negara yang bisa besar dan menginspirasi dunia, seperti China, India, Jepang, Inggris, Amerika, semua karena menjaga sejarahnya. Monumen maupun tengara sejarahnya tetap dijaga dan nilai ajaran budayanya terus dilestarikan.
“Ingatlah sejarah. Sejarah ini adalah kunci utuhnya suatu negara,” tutur Biksu yang pandai bercanda bahkan pernah juara Lawak ini.
Ketua Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia ini menjelaskan, sejarah bangsa Nusantara sebenarnya sangat gemilang. Sejak Kerajaan Kalingga yang dipimpin Ratu Shima, Nusantara punya budaya luhur nan jaya.
Lalu kerajaan Sriwijaya di Swarna Dwipa, terus Medang Kamulan di Jawa yang dipimpin Prabu Dharmawangsa. Berlanjut Singasari dan Majapahit, nilai adiluhung terus dijaga.
Diantara yang monumental adalah kitab Negara Kertagama karangan tim lima empu (Pra Panca). Diantara isinya, setiap 10 kepala keluarga, warga mengangkat satu orang sebagai teladan (tuladha). Para tuladha mengangkat lagi tuladha tingkat atasnya. Berjenjang hingga tuladha tertinggi tingkat kerajaan.
“Kita punya modal yang sangat hebat. Warisan kerasajaan masa lalu sangat adiluhung untuk kita jadikan jati diri bangsa. Ajaran tentang larangan Malima sudah diwariskan, tinggal kita mau memakai atau tidak,” tutur Banthe dengan nada pitutur Jawa dan diselingi guyonan.
Keterpurukan Indonesia saat ini, kata Dhammasubo, karena banyak menghilangkan saksi sejarah. Bangunan bersejarah banyak digusur, bahkan dokumen sejarah dihilangkan. Sudah begitu, catatan sejarah banyak didustakan.
Berikutnya, penulis esai, prosa dan puisi Lang Fang mengatakan, dalam sejarah ada dua sumpah yang sangat heroik, fenomenal dan fundamental. Yakni Sumpah Pemuda dan Sumpah Palapa.
Sumpah tersebut, menurutnya, adalah ikrar tekad persatuan. Semangat mempersatukan. Buah dari persatuan itu adalah kejayaan dan kemerdekaan. Namun kini persatuan bangsa terancam.
“Kebersatuan kita dan moral bangsa kian merosot. Sudah waktunya kita tidak main-main dengan sumpah dan janji yang dulu pernah diikrarkan,” tuturnya.
Dalam dialog lintas iman ini, para hadirin benar-benar menikmati acara. Dari jam 10.00 hingga pukul 15.00, hadirin semangat mengikuti karena suasana yang cair dan penuh guyonan.
Timur Sinar Suprabana yang sempat membacakan puisi di sela dialog mengatakan, “Acara ini sungguh luar biasa mencerahkan. Saya selaku penasehat panitia sangat terkesan dengan dialog ini”. Itu dia ucapkan setelah berteriak lantang membacakan syairnya.