Oleh: Muhammadun*
Membaca gerak eksistensi Islam di bumi Nusantara terlihat sekali kaki perjuangan Islam yang tertancap begitu kuat dalam artefak sejarah perjuangan Nusantara. Setiap fase kehadiran Islam selalu menyibakkan ruang perjuangan yang gigih dan menyejukkan. Ketika masuk Nusantara pada abad ke-7 M, melalui Selat Malaka dan pusat-pusat perdagangan di Pulau Jawa, Islam hadir dengan penuh kasih, damai, dan bersaudara. Ketika kaum kolonial menginjak-injak martabat bangsa, para pejuang Islam berdiri digarda depan menumpas kekejaman kolonialisme.
Ketika kemerdekaan diusik Belanda, “Resolusi Jihad” umat Islam Surabaya mampu membangkitkan spirit perjuangan menghadang kolonial. Dan ketika Indonesia berjuang mengisi kemerdekaan, Islam selalu hadir sebagai basis etika sosial umatnya. Islam tak pernah dipaksakan sebagai ideologi negara. Umat Islam dengan legowo menerima Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai bentuk final –meminjam bahasa Kiai Ahmad Siddiq- kehidupan kebangsaan.
Fakta kesejarahan eksistensi Islam itulah yang coba diterawang secara kritis. Peta peran kesejarahan yang selama ini kurang mendapatkan perhatian serius dalam studi sejarah di Indonesia harus dihidupkan, sehingga memantikkan kesadaran beragama dalam memantulkan komitmen kebangsaan. Dalam buku-buku sejarah baik yang resmi (yang digunakan disekolah sebagai buku-buku teks) maupun yang tidak resmi (bacaan umum), Islam diposisikan sebagai sesuatu yang tidak signifikan. Malahan, ada kesan peranan Islam yang mempersatukan ikatan emosional dan heroisme perjuangan mengusir penjajah serta pembentukan wilayah ini “menjadi Indonesia”, pun hendak diabaikan. Dalam analisis Taufik Abdullah, ada gerakan wacana (discourse movement) yang mencoba membelokkan sejarah, yang meletakkan peranan Islam semata-mata sebagai footnote_ dalam arus besar sejarah Indonesia. Memang, lanjut Taufik, sejarah sering menjadi ajang perebutan hegemoni terkait diktum “siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan.”
Walaupun terjadi peminggiran Islam dalam sejarah Indonesia, tetap saja Islam mempunyai peran besar dalam terwujudnya Indonesia. Peminggiran peran kesejarahan justru membuka mata dunia bahwa Islam yang berkembang di Indonesia justru menjadi basis budaya dan basis etik berbagai strategi perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia. Ya, Islam justru tidak terikat dengan kepentingan kekuasaan, sehingga netral dan bebas berkreatifitas dalam memajukan peradaban bangsa. Terlebih di tengah berbagai benturan kepentingan dan benturan peradaban dunia. Islam Indonesia selalu tepat menempatkan diri dalam berbagai konflik local dan konflik global. Islam Indonesia menjadi Islam yang khas, nyentrik. Dalam bahasa Nurcholis Madjid, Islam Indonesia merupakan Islam yang paling sedikit terarabkan, lantaran berada di wilayah pinggiran yang jauh dari pusat Islam Arab, dan memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan budaya Arab. Atau dalam analisis MB Hooker, telah terjadi Islam mazhab Indonesia yang fatwa-fatwa keagamaan dalam merespon perubahan sosial didasarkan pada basis kebudayaan yang berkembang di Nusantara.
Para cendekiawan muda Indonesia sekarang menamakan keislamannya dengan sebutan Islam Pribumi. Yakni Islam yang menancapkan kakinya di berbagai tradisi dan khazanah kebudayaan yang tertanam dalam bumi Nusantara. Islam Pribumi meletakkan ajaran Islam dalam kerangka kebudayaan local Indonesia. Tidak terikat dan terkait dengan situasi kearaban. Bagi aktivis gerakan Islam pribumi, wahyu (Islam) bukanlah berada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan (al-wahyu laysa khorij al-zaman tsabitan la yataghayyaru, bal dhakhil al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi). Dengan menempatkan wahyu yang demikian, Islam Pribumi dapat berdamping dan berkembang secara sinergis di bumi Indonesia: tanpa kehilangan otentisitas keislamannya. Jalan inilah yang pernah dilakukan Imam al-Syafi’i, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan para pejuang Islam lainnya di bumi Nusantara.
Dalam kerangka berfikir tersebut, maka umat Islam hidup di Indonesia sebagai warga negara yang sama statusnya dengan umat agama lain. Umat Islam Indonesia bukan Ummah yang eksklusif dan sectarian. Umat Islam menyebut Indonesia sebagai “Bangsa Muslim” (tanpa mengingkari golongan minoritas non-Muslim yang ada), bukan “Negara Islam” yang berkonotasi politis dan ideologis. Jalan inilah yang dicontohkan umat Islam ketika National Indische Partij dalam Konggres Nasional se-Hindia tahun 1922 yang mengajukan konsep nasionalisme Hindia. HOS Tjokroaminoto, misalnya, menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme. Justru melalui Islam lah nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Senada dengan Tjokro, M. Natsir menyatakan bahwa sebelum dipergunakan istilah “nasionalisme Indonesia”, ketika bebagai organisasi, seperti Boedi Oetomo, Jong Sumatranen Bond, dan sebagainya, membatasi diri pada suku bangsa masing-masing, pergerakan yang berdasarkan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan. Pergerakan Islam-lah, lanjut Natsir, yang lebih dulu membuka jalan perjuangan kemedekaan di Tanah Air, yang mula-mula menanamkan bibit persatuan Indonesia, yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian.
Spirit nasionalisme dan kebangsaan yang tertancap dalam peran kesejarahan Islam di Indonesia menjadi bukti bahwa berbagai gerakan sebagian umat Islam yang terus mempropagandakan negara Islam, Khilafah Islamiyah, dan jargon senada lainnya, tidak sesuai dengan spirit perjuangan founding fathers Islam di Indonesia. Menjadi Islam bernafas Indonesia bukanlah dengan memaksakan ideologi keislaman, tetapi dengan mengedepankan Islam sebagai basis etik gerakan kebudayaan dan peradaban bangsa. Menempatkan Islam dalam kerangka ideologis hanya akan mencerai-beraikan Islam sendiri: politisasi agama sering kali hanya menjadi alat meraih dan mengais kuasa kepentingan. Sementara menempatkan Islam sebagai basis etik kebudayaan dan peradaban akan menjadikan Islam sebagai ruh dan jiwa berjuang untuk “menjadi Indonesia”: ruh itu akan terus mengalir di sekujur tubuh keindonesiaan.
*Alumnus PP Sunan Ampel Jombang