Jakarta, NU Online
Nasib petani tembakau di Indonesia semakin terpinggirkan, seiring segera disahkannya Rancangan Peranturan Pemerintah (RPP) tentang Penetapan Pengamanan Pengendalian Dampak Penggunaan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang sejak awal memang serius melakukan pembelaan, terus meningkatkan perannya, salah satunya melalui buku ‘Hitam Putih Tembakau’ yang berisikan desakan agar Pemerintah tak memandang petani dengan sebelah mata.
Buku berjudul Hitam Putih Tembakau yang merupakan buah karya tim dari Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU dan riset Universitas Indonesia (UI), secara resmi diluncurkan di SSMC Gedung C, kampus UI, Depok, Jawa Barat, Kamis, 13 Oktober 2011. Selain dihadiri oleh tim penulis dan editor, dilakukan juga bedah buku oleh tiga orang pakar di bidang terkait, masing-masing guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universtitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Maksoem Mahfoedz, staf pengajar Fakultas Pertanian IPB Dr. Gunawan Wiradi, serta staf pengajar Fakultas Sosiologi UI, Dr. Haenan Samuel.
“Melalui buku ini kami ingin Pemerintah melihat, kebijakan pertembakaun ke depan harus melihat secara nyata nasib petani. Ini penting karena kebijakan yang saat ini ada sangat tidak menguntungkan petani, paadahal peranan mereka dalam menyumbang pemasukan negara tidaklah kecil,” ungkap editor buku Hitam Putih Tembakau Andi Rahman Alamsyah, mengawali proses bedah buku.
Andi menambahkan, tembakau memiliki segudang aspek yang mengiringi perjalanan Bangsa Indonesia, meliputi sosial, politik, budaya dan ekonomi. Pengesahan RPP Tembakau dengan isinya yang menyudutkan kalangan petani, dianggap akan mematikan nasib jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari komoditi tersebut.
“Selama ini sikap Pemerintah masih menggantung, tembakau ini dilanjutkan atau tidak. Jika memang dihilangkan pemerintah akan kehilangan lima puluh lima trilun sebagai pemasukan yang disumbangkan per tahunnya, begitu juga Pemerintah harus memikirkan nasib tiga pluh tiga juta jiwa yang menggantungkan hidupnya dari tembaakau dan hasil olahannya,” sambung Andi yang juga tercatat sebagai Ketua Bidang Riset LTN PBNU.
Sementara Dr. Gunawan Wiradi dalam paparannya lebih menyoroti peranan Pemerintah yang memang sangat kecil terhadap kalangan petani. Sistem perekonomian pertanian di Indonesia lebih mementingkan nasib pengusaha, yang notabene menggantungkan usahanya kepada petani sebagai pelaku di tingkatan paling bawah.
“Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, baik kesatu atau yang kedua, Menteri Pertaniannya sama-sama dari IPB. Tapi kedua-duanya tidak tahu kalau tanggal 24 September itu Hati Tani se dunia. Ini kan memprihatinkan, sekaligus menggambarkan bagaimana Pemerintah memperhatikan petani,” tegas Dr. Gunawan disambut tepuk tangan meriah lebih dari 100 orang peserta.
Terkait buku Hitam Putih Tembakau, Dr. Gunawan menganggapnya sangat representatif. Penilaian ini disampaikan berdasarkan lokasi penelitian yang sudah mewakili daerah penghasil tembakau di Indonesia, sementara penyajiannya juga menarik, dengan mengedepankan metode penelitian ilmiah populer. “Buku yang sangat menarik dibaca, dan saya merekomendasikan ini,” tandasnya.
Sementara Ketua LTN PBNU Sulthan Fathoni mengatakan, buku ini diterbitkan sebagai penanda tradisi riset di kalangan Nahdliyin masih tetap terjaga. Sebelum menghasilkan buku yang mengupas nasib petani tembakau di Indonesia, riset tentang persepsi masyarakat terhadap Nahdlatul Ulama telah selesai dilakukan.