Jakarta, 1 Juni 2024 – Dunia maya kembali digemparkan dengan polemik terkait draf revisi Undang-Undang Polri yang beredar di media sosial. Poin krusial yang menjadi sorotan adalah kewenangan baru yang diberikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk mengawasi ruang siber, termasuk memblokir akses internet.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria, saat diwawancarai di Universitas Paramadina, Jakarta, mengaku belum bisa memberikan komentar resmi terkait draf revisi UU Polri tersebut. “Itu belum sampai ke kami, saya belum bisa komentar,” ungkapnya.
Namun, kekhawatiran publik telah mencuat. KontraS, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menyoroti potensi penyalahgunaan kewenangan baru Polri dalam mengawasi ruang siber.
Kekhawatiran KontraS Terhadap Draf Revisi UU Polri
KontraS menilai bahwa RUU Kepolisian memperluas kewenangan Polri secara berlebihan dalam hal pengamanan, pembinaan, dan pengawasan ruang siber. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi celah bagi pelanggaran privasi dan hak asasi manusia.
Menurut KontraS, kewenangan tersebut dapat disalahgunakan, mengingat lemahnya regulasi terkait penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi, dan intersepsi digital. KontraS mencontohkan kasus pembatasan akses internet di Papua pada tahun 2021 sebagai bukti potensi penyalahgunaan kewenangan tersebut.
KontraS juga mengkhawatirkan rencana “pembinaan” dan “pengawasan” ruang siber oleh Polri akan digunakan untuk membungkam suara kritis di media sosial dan menyerang aktivis, jurnalis, pembela HAM, dan pembela lingkungan hidup.
Pentingnya Keseimbangan Kewenangan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Draf revisi UU Polri memang bertujuan untuk meningkatkan keamanan di ruang siber. Namun, penting untuk diingat bahwa kewenangan baru yang diberikan kepada Polri harus diimbangi dengan mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan.
Perlindungan hak asasi manusia dan privasi pengguna internet juga harus menjadi prioritas utama. Pemerintah dan DPR perlu memastikan bahwa revisi UU Polri tidak akan membatasi ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Diskusi dan Dialog Terbuka Dibutuhkan
Polemik terkait draf revisi UU Polri ini menunjukkan pentingnya diskusi dan dialog terbuka antara pemerintah, DPR, masyarakat sipil, dan akademisi. Semua pihak perlu dilibatkan dalam proses pembahasan revisi UU Polri untuk memastikan bahwa aturan yang dihasilkan adil, transparan, dan akuntabel.
Masyarakat juga perlu terus memantau perkembangan revisi UU Polri dan aktif menyuarakan aspirasinya. Kita harus memastikan bahwa ruang siber di Indonesia tetap menjadi ruang yang bebas, terbuka, dan aman bagi semua.