Di tengah aku bicara itu, tiba-tiba, pikiranku kembali melayang-layang dan menemukan cerita seorang kawan tentang kisah Gus Dur masak sop ceker dan jeroan ayam. Aku tak tahu apakah ini benar atau humor saja. Tetapi aku mencoba membayangkan sendiri, aku menanyakan hal itu kepada Gus Mus.”Gus Mus, saya dengar dari cerita seorang teman, saat di Kairo, GD pernah masak sop ceker, ”sewiwi” (sayap), kepala dan jeroan ayam, ya?”.
Gus Mus tertawa terkekeh-kekeh. Beliau tak menjawab. Tetapi aku mengulangi saja cerita itu.
”Konon begini, Gus. Suatu hari Gus Dur bilang mau memasak sop istimewa untuk makan malam bersama teman-temannya.”
Sorenya dia pergi sendiri ke pasar. Di sana dia mencari penjual ayam potong dan meminta ceker, sayap, kepala dan jeroan. GD tahu bagian-bagian tubuh ayam biasanya akan dibuang saja. Jadi bisa gratis.
Penjual ayam potong itu bertanya, untuk apa, ya sayyidi?. Gus Dur menjawab spontan, ”Untuk makanan kucing di rumah.”
Ia menyembunyikan keinginannya untuk tertawa sendiri.
”Lakin Inta ta’khudz Kitir Awi” (Tapi anda kok mintanya banyak sekali)”.
”’Aiwah, alasyan Itat Kitsir awi’ (ya, karena kucingnya banyak sekali),”jawab Gus Dur dengan kalem dan tidak ketawa.
Gus Dur kemudian pulang membawa semua bagian-bagian tubuh ayam tersebut, lalu memasaknya. Kemudian teman-temannya dipanggil untuk ”mayoran” (pesta makan enak).
Saat mereka mengetahu apa yang dimasak GD ltu kaki, sayap kepala dan jeroan ayam, mereka bertanya,”Bagaimana sampeyan bisa mendapatkan ini, kok bisa, Gus?. Bagaimana sampeyan bilang kepada penjualnya?”
GD menjawab dengan tenang.”Aku katakan,’ini untuk kucing’ Ha ha ha.”
Semua tertawa terbahak-bahak, sambil menikmati makan enak masakan ala Gus Dur.
Mendengar cerita itu Gus Mus, tertawa terkekeh-kekeh. Aku juga.
”Gus, saat di sana, saya juga sering dan suka masak ceker, sayap, kepala dan jeroan ayam itu”.
Tetapi pada zaman saya, semua bagian-bagian yang dianggap tak berharga itu tidak lagi gratis. Aku terpaksa membayar, meski sangat murah. Rupanya para penjualnya sudah tahu, barang-barang itu bukan untuk kucing, tapi dimakan untuk manusia”.
Ha ha ha, kami berdua tertawa terbahak-bahak lagi.
Itu yang aku dengar dari teman beberapa waktu lalu, Gus.
Gus Mus masih tertawa kecil. Dan aku meneruskan cerita.
”Tapi saya dengar dari kawan lain bahwa saat itu Gus Mus ikut makan dan menikmati masakan Sop ala Gus Dur itu. Katanya yang dibeli Gus Dur itu bukan untuk makanan kucing, tapi anjing.
Lalu kawan itu menambahkan ceritanya begini,’Ketika beberapa waktu kemudian Gus Dur pindah ke Bagdad, Irak, Gus Mus mencoba meniru Gus Dur, masak sop yang sama. Sampai di tempat, penjual potong ayam itu bertanya, kok lama sekali kalian ngga ke sini, anjingnya bagaimana?’”.
Gus Mus menjawab seenaknya saja, ”Rayih ila Bagdad (Sudah pindah ke Bagdad).”
Kali ini Gus Mus dan aku meneruskan tertawa kerasnya. Kali ini lebih panjang, karena di samping cerita itu lucu, juga jawaban tidak sesuai pertanyaan.
Gus Mus salah dengar, mengira penjual potong ayam itu bertanya, di mana temanmu itu?, padahal ”bagaimana anjingnya?”. Ha ha ha ha.
(KH Husein Muhammad, dipetik dari buku “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus”)
Sumber: NU Online