Karena saking sibuknya, seorang santri sudah lama sekali tidak bisa sowan ke kiainya. Maklum dia sudah menjadi orang sukses. Suatu ketika santri ini berkesempatan sowan ke gurunya, dan seperti biasa setelah bersalaman dengan kiai, para tamu dipersilakan duduk lesehan di pendopo, sang kiai pun duduk di depan para tamu. Setelah agak lama hening, sang kiai lalu menyapa santri itu yang kebetulan duduk di shaf paling depan.Kiai: Bagaimana keadaanmu, Cong?
Santri: Alhamdulillah sehat, berkat doa Kiai .
Kiai: Ya… syukurlah kalau begitu.
Setelah diam sejenak sang kiai kemudian melanjutkan pertanyaannya
Kiai: Saya dengar kamu berpoligami?
Sontak saja si santri menjadi deg degan, berbagai perasaan berbaur dalam pikirannya, dari merasa bersalah, malu dan sebagainya. Lalu dengan agak gugup ia menjawab.
Santri:Ya, benar, Kiai.
Kiai: Hebat kamu, saya aja baru satu.
Mendengar pujian sang guru ia kembali tenang, kemudian melanjutkan perbincangannya
Santri: Tapi ada yang musykil, Kiai.
Kiai: Lho kok bisa, apanya yang musykil ?
Santri: Begini Kiai, sebetulnya saya hanya mau dua saja, seperti dalam al Qur’an…
Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena keburu dipotong oleh sang Kiai.
Kiai: Lho..! Di dalam Al Qur’an bukannya sampai empat?
Santri: Maksud saya begini Kiai,saya sudah terlanjur punya tiga isteri, sementara dalam al Qur’an disebutkan hanya dua, “fid dunya hasanah” dan “fil akhiroti hasanah”, terus hasanah yang satu lagi tempatnya di mana, Kiai?
“Grrrrrrrr…” semua yang hadir di pendopo tertawa.
(Hosni Rahman, Sukorejo Situbondo)
Sumber: NU Online