Jepara, Pimpinan Anak Cabang IPNU-IPPNU Kecamatan Mlonggo Jepara bekerja sama dengan SMK Az Zahra Mlonggo Jepara menyelenggarakan Seminar “Islam Nusantara di Tengah Ancaman Radikalisme” di aula SMK, Kompleks Pesantren Az Zahra, Jalan Raya Jepara-Bangsri Km. 12 Sekuro Mlonggo Jepara, Sabtu (17/10) pagi.
Dalam kegiatan yang dihadiri puluhan pelajar itu salah satu narasumber KH Nuruddin Amin, Pengasuh Pesantren Hasyim Asyari Bangsri Jepara menegaskan, Islam Nusantara yang menjadi tema besar dalam Muktamar ke-33 NU ialah penggabungan Islam sebagai etika dan Islam dalam pergumulan budaya.
Islam, menurut pria yang akrab disapa Gus Nung ini, merupakan ajaran yang bersifat kaffah, total dan menyeluruh. Semua ketentuan beragama baik itu fiqih, tasawuf dan sebagainya diyakini warga NU ialah implementasi dari ajaran Aswaja.
Sedangkan Islam sebagai pergumulan budaya, lanjutnya, sudah termaktub dalam fiqih. Sebab fiqih selalu sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Hal ini sejalan dengan alhukmu yadûru ma‘a illatihi. Sehingga tradisi yang berkembangkan di tengah masyarakat, tegasnya, sudah dilegitimasi dalam fiqih.
Misalnya, orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji meski berangkat ke tanah suci tetapi tidak harus menjadi “Arab”. “Haji ialah nilai etik bagaimana kita berserah diri total kepada Allah. Mentauhidi Allah secara total,” terangnya.
Sekembalinya ke tanah air, misalnya, tidak mesti jamaah memakai jubah dan peci putih, tetapi bisa menggantinya dengan mengenakan blangkon. Pada ranah itu, kata Gus Nun, kita harus bisa membedakan antara Islam dan kultur arab. Sunan Kudus yang melarang masyarakat menyembelih sapi ialah strateginya untuk menghargai kebudayaan. Sehingga, sebagai pengikut Islam di Indonesia tidak larut dengan kultur Arab.
“Arab memiliki kultur, kita (Indonesia) juga mempunyai budaya sendiri. Misalnya, blangkon peci hitam dan sejenisnya merupakan ciri khas dari kita,” imbuhnya.
Pembicara lain, Hamzah Sahal menerangkan, Islam Nusantara bukanlah hal yang baru. Islam Nusantara, menurutnya, bisa dilakukan dengan menikmati karya-karya ulama Nusantara.
Hamzah menyimpulkan, salah satu gudangnya Islam Nusantara tidak lain adalah Jepara. Sosok Kiai Saleh Darat dalam khazanah Islam Nusantara pernah menerjemah Al-Qur’an dalam bahasa Jawa atas saran dari RA Kartini meski penerjemahannya tidak sampai rampung.
Selain karya ulama yang mumpuni, Jepara juga memiliki institusi yang kuat. Sebagai proses penelusurannya menulis pesantren tua di Jawa, aktivis muda NU itu menyebut Pesantren Balekambang Jepara berada di urutan pesantren tertua ke-23 yang usianya lebih tua jika dibandingkan dengan pesantren Tebuireng, Krapyak dan Mranggen.
Sehingga sebagai warga Jepara tidak hanya mempopulerkan ukirannya, RA Kartini sebagai pejuang perempuan tetapi juga mempopulerkan Kartini sebagai muslimah yang dengan gagasan brilian.
“Alhasil tugas pesantren maupun warga NU ialah nguri-nguri warisan ulama terdahulu agar niat-niat jahat kelompok yang ingin menggembosi tradisi kita menyingkir semua. Radikalisme juga surut dengan sendirinya,” kata dia.
Kaum santri, kaum sarungan harus selalu memberikan sumbangsh lebih terhadap sejarah panjang berbangsa, bernegara dan ber-Nahdlatul Ulama (NU).
Kegiatan juga dihadiri Dwi Suryoatmojo, Peneliti Madya Kementerian Pertahanan yang dalam paparannya menitikberatkan pemuda harus selalu membangkitkan semangatnya untuk mencegah radikalisme.
Selain Seminar kegiatan yang berlangsung 2 hari ini juga diisi dengan Latihan Kader Muda (Lakmud) dan Pentas Padang Bulan. (Syaiful Mustaqim/Mahbib)
Sumber: NU Online