Badung, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) awalnya adalah jamaah, perkumpulan. Isinya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan tradisi keagamaan. Lalu oleh para kiai, jamaah itu dihimpun dalam wadah organisasi (jam’iyyah) dengan nama yang berarti kebangkitan ulama.
Jika sudah menjadi jamiyyah, maka mestinya tindakan NU bukan lagi seperti model jamaah. Tapi sudah dengan manajemen organisasi. Jadi ada standar dan sistem yang dibuat dan keputusan dibuat melalui musyawarah yang hasilnya efektif.
Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri menyampaikan hal itu dalam diskusi pertama Halaqoh Nasional Fiqih Organisasi yang digelar Majma’ Buhuts an-Nahdliyah (MBN) di Hotel Lor In kawasan Pecatu Indah Resort, Kuta, Badung, Bali, Jum’at (11/12) malam.
Halaqoh diikuti oleh lima puluhan ulama se-Jawa Madura dan Bali yang tergabung dalam forum diskusi ke-NU-an (MBN) tersebut. Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin Leteh Rembang ini menjelaskan, walaupun NU berwarna tradisional, manajemennya harusnya modern. Manajemen modern bukan berarti meninggalkan basis tradisi dan ciri khasnya, tetapi menggunakan cara yang benar dan dalam menjalankan jam’iyyah. Penekanannya pada musyawarah.
“NU adalah jam’iyah. Maka tindakannya harus sebagai organisasi. Bukan lagi model jamaah,” ujarnya dalam forum yang dipandu pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo KH Dian Nafi, hingga larut malam itu.
Kiai yang biasa dipanggil Gus Mus ini menguraikan, musyawarah harus dilakukan dan menjadi standar kewajiban setiap pengambilan keputusan. Terlebih untuk urusan yang terkait langsung dengan umat.
Ia membeberkan, banyak terjadi konflik di internal NU karena faktor politik. Ada kiai A mendukung calon kepala daerah X, lalu kiai B mendukung calon Y. Lalu santrinya Kiai A tukaran dengan santrinya Kiai B. Bahkan kiainya sendiri kadang ikut jothakan. Hal itu menurutnya, menunjukkan pola yang tidak terorganisir.
Semestinya, kata budayawan ini, para kiai yang berada dalam lembaga Syuriyah NU memerintahkan pengurus Tanfidziyah untuk meneliti rekam jejak para calon. Laporannya dibahas oleh syuriyah dalam musyawarah. Lalu para kiai melakukan istikhoroh. Hasil dari musyawarah dan istikhoroh itu menjadi bahan mengambil keputusan.
“Semestinya ulama bermusyawarah untuk memutuskan siapa calon yang layak didukung. Itupun melalui istikhoroh dulu,” tegasnya.
Lebih lanjut dia menambahkan, dalam musyawarah itu para calon atau calon yang dianggap layak, dipanggil untuk presentasi di depan para ulama. Dia harus menjelaskan apa komitmennya kepada rakyat, bagaimana pengelolaan pemerintahannya jika terpilih. Dia juga harus menjawab pertanyaan para kiai tentang perlindungan alam lingkungan, pelayanan kepada fakir miskin dan anak terlantar, perlindungan budaya, dan seterusnya.
“Jadi keputusan ulama bulat. Jelas untuk kemaslahatan umat. Pemimpin ulama, yakni Rais Syuriyah, lantas menyampaikan hasil musyawarah tersebut kepada umat. Keputusman itu berjalan efektif sampai ke bawah dengan jalur komando yang kuat. Pengurus Tanfidziyah menyebaruaskan keputusan ulama tersebut. Jadi kontrol kekuasaan itu di tangan jam’iyyah NU. Tidak sikap pribadi kiai A, B, atau C.
“Ketika keputusan sudah dibuat, seluruh kiai dan warga NU sampai tingkat paing bawah satu suara, satu pilihan. Manut pada dhawuh rais syuriyah,” .
Untuk mewujudkan hal itu, kata Gus Mus, dengan menyuwun Fiqih Organisasi. Sebagai pedoman pelaksanaan organisasi, baik oleh NU maupun organisasi lain. Ia mengaku sudah memikirkan hal dan telah mengusulkannya agar dibahas dalam setiap Muktamar yang ia hadiri. (ichwan/abdullah alawi)
Sumber: NU Online