Jakarta, NU Online
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa pendidikan agama dan keagamaan menjadi elemen penting dalam menjaga eksistensi ke-Indonesiaan di wilayah perbatasan. Sebab, selain mengajarkan kebajikan, persaudaraan, dan kemanusiaan, nilai-nilai agama sarat dengan pesan kedamaian serta cinta sesama dan Tanah Air.
“Pendidikan agama dan keagaman menjadi niscaya untuk betul-betul mendapat perhatian utama pemerintah dan masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan agar eksistensi ke-Indonesiaan tetap bisa dijaga dan dipelihara,” tegas Menag saat memberikan sambutan pada Seminar Nasional Pendidikan Agama dan Keagamaan di Wilayah Perbatasan Negara, Jakarta, Kamis (05/11), seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.
Menurut Menag, dalam konteks ke-Indonesiaan, nilai-nilai agama terbukti telah menjadi faktor perekat keragaman bangsa. “Nilai agama lah yang mampu menjalin keragaman kita, tidak hanya dalam etnis, suku, budaya, tradisi, tapi juga agama,” terangnya.
Sebagai bangsa, masyarakat Indonesia sejak dulu dikenal religius, sangat memegangi nilai agama dalam mengatur kehidupan keseharian di tengah keragaman. Apapun etnisnya, masyarakat Indonesia dikenal sangat menjunjung tinggi nilai agama. Di sinilah menurut Menag Lukman, nilai agama menjadi perekat meski Indonesia adalah bangsa majemuk.
“Para pendiri bangsa begitu arif meletakkan agama sebagai perekat yang mampu menjaga keutuhan kita sebagai bangsa besar,” tegasnya.
Meski demikian, Menag mengaku bahwa berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Kemenag, tertangkap kesan kuat bahwa pendidikan agama dan keagamaan di wilayah perbatasan masih kurang.
Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Hamdar Arraiyyah dalam laporannya menyampaikan, pada tahun 2012 dan 2013, Puslitbang telah melakukan penelitian tentang penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan di wilayah perbatasan negara. Penelitian ini dilakukan di wilayah Indonesia Timur dan Barat, tepatnya di Provinsi NTT (berbatasan dengan Timor Leste dan Australia), Papua (berbatasan dengan Papua Nugini), Sulawesi Utara (berbatasan dengan Filipina), Kaltim (berbatasan dengan Malaysia), Riau (berbatasan dengan Malaysia), Kepri (Singapura), dan Kalbar (berbatasan dengan Malaysia).
Temuan pokok penelitian ini, penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah rata-rata masih kekurangan tenaga guru. Penyelenggaraan pendidikan di madrasah rata-rata kekurangan sarana dan prasarana, serta tenaga pendidik dan kependidikan. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan, khususnya Islam rata-rata kekurangan lembaga dan tenaga pendidik.
Terkait hasil penelitian ini, Menag memandang perlunya upaya strategis dalam melakukan penguatan lembaga pendidikan agama dan keagaman di wilayah perbatasan.
“Hanya melalui penguatan itu maka nilai-nilai agama tetap bisa terjaga sehingga, baik langsung atau tidak langsung, eksistensi keindonesia bisa tetap terjaga,” kata Menag.
Pernah bekerja hampir 2 tahun di wilayah Jayawijaya, Papua, Menag mengaku merasakan betul bagaimana kondisi pendidikan di wilayah Indonesia timur itu. Menurutnya, jangankan guru agama, tenaga pendidikan lain praktis tidak ada sehingga guru-guru yang mengajar di wilayah pedalaman adalah siapa saja orang dewasa yang punya kesadaran tinggi agar generasi Indonesia di sana bisa lebih baik kualitasnya.
Untuk itu, melalui seminar ini, Menag berharap setidaknya ada kesepakatan menyangkut tiga hal, yaitu:
Pertama, pentingnya menjaga dan memeliharahal baik yang sudah dilakukan Pemerintah dan sejumlah kalangan di luar Pemerintah.
“Banyak lembaga swadaya masyarakat yang telah melakukan banyak hal terkait penguatan lembaga pendidikan agama dan keagamaan dan hal yang sudah baik ini bisa terjaga dan terpelihara,” terang Menag.
Kedua, pentingnya sinergitas, kerja sama, koordinasi antar Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dan semua institusi yang peduli terhadap upaya penguatan lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Menurut Menag, beberapa K/L mempunyai concern dengan wilayah perbatasan karena permasalahannya yang kompleks. Karenanya, tidak akan efektif jika setiap K/L bekerja sendiri-sendiri.
“Kita harus membangun kebersamaan dan memperkuat sinergi antar kementerian demi tujuan bersama. Tidak elok jika kita punya lembaga pendidikan keagaman yang bagus di perbatasan, tapi tidak ada listrik, tidak ada akses jalan, tidak ada sinyal dan lainnya. Karenanya, sinergitas antar berbagai Kementerian dan Lembaga menjadi niscaya,” ujar Menag.
Ketiga, upaya dan program apapun yang akan dilakukan harus melibatkan masyarakat. Dengan begitu, pembangunan yang akan dilakukan tidak utopis, tetapi riil dan membumi sesuai problem yang dihadapi.
“Pelibatan masyarakat setempat menjadi mutlak agar kesinambungan yang kita upayakan tetap terjaga dan terpelihara,” tandas Menag.
Seminar Nasional Pendidikan Agama dan Keagamaan di Wilayah Perbatasan Negara menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jakfar, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Malik Haramain, Kepala Balitbang Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud, Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin, serta dari Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Seminar ini diikuti sekitar 300 peserta, terdiri dari utusan majelis agama, organisasi keagamaan, perguruan tinggi, LSM, peneliti di lembaga penelitian, guru pendidikan agama di sekolah, guru madrasah, dan pesantren. Red: Mukafi Niam
Sumber: NU Online