Donor darah menjadi penyelamat dalam situasi genting. Bayangkan pasien yang kehilangan banyak darah karena kecelakaan, operasi, atau persalinan. Donor darah adalah secercah harapan, jembatan menuju kehidupan bagi mereka.
Di sisi lain, donor darah juga membawa manfaat bagi pendonor itu sendiri. Kesehatan jantung membaik, produksi sel darah merah meningkat, dan risiko penyakit pun menurun. Sungguh sebuah tindakan mulia yang membawa manfaat ganda.
Agama Islam, melalui konsep maqashidus syari’ah (tujuan syariat) menempatkan hifzhun nafs (pemeliharaan jiwa) sebagai prioritas kedua setelah hifzud din (pemeliharaan agama). Ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi keselamatan nyawa.
Keterdesakan dan Keterbatasan
Meskipun darah disimpan di tempat khusus, ketersediaannya tidak selalu terjamin. Stok bisa menipis, menuntut kehadiran pendonor baru. Dalam situasi darurat, pendonor mungkin tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan diri sepenuhnya. Misalnya, belum sempat mandi wajib atau masih dalam keadaan junub.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukumnya mendonorkan darah dalam keadaan junub?
Hukum Donor Darah dalam Keadaan Junub
Sumber-sumber Islam, khususnya literatur mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa mengeluarkan darah atau menghilangkan bagian tubuh dalam keadaan junub hukumnya makruh. Alasannya, bagian-bagian tubuh tersebut akan meminta pertanggungjawaban kepada pemiliknya di akhirat jika belum disucikan dengan mandi wajib.
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya, Nihayatuz Zain, menganjurkan orang yang memiliki hadas besar untuk tidak menghilangkan, mengeluarkan, atau memotong bagian tubuh seperti rambut, darah, dan kuku, sebelum bersuci.
Bagian-bagian tubuh tersebut akan dikembalikan oleh Allah SWT pada tempatnya di akhirat. Jika dihilangkan sebelum mandi wajib, maka hadas besar akan kembali kepada orang tersebut sebagai celaan.
Senada dengan Syekh Nawawi, Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal (Al-Jamal) dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal mengutip pendapat Imam Al-Ghazali yang menganjurkan hal serupa.
Al-Ghazali menekankan bahwa semua bagian tubuh akan dikembalikan kepada pemiliknya di akhirat. Jika terpotong dalam keadaan junub, maka bagian tersebut akan kembali dengan kondisi yang sama.
Syekh Abdul Hamid As-Syirwani dalam Hasyiyah ‘ala Tuhfatil Muhtaj menjelaskan lebih lanjut makna pengembalian bagian tubuh di akhirat. Ia mengemukakan bahwa pengembalian tersebut tidak terbatas pada bagian tubuh yang asli, meskipun terdapat perbedaan pendapat.
As-Sa’d dalam kitab Syarh Al-‘Aqaid An-Nasafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bagian tubuh asli yang ada sejak lahir hingga meninggal.
Al-Bujairami, di sisi lain, berpandangan bahwa yang dikembalikan adalah bagian tubuh saat meninggal, bukan seluruh bagian yang terpotong sepanjang hidup. Al-Qalyubi sependapat dengan pandangan ini.
Al-Madabighi menegaskan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah bagian asli, seperti tangan yang terpotong, berbeda dengan rambut dan kuku yang akan kembali terpisah.
Rambut dan kuku yang dipotong dalam keadaan junub akan kembali dengan kondisi tersebut, sebagai bentuk celaan karena perintah untuk tidak memotongnya diabaikan.
Menimbang Kebutuhan dan Anjuran
Kesimpulannya, meskipun hukumnya makruh, mendonorkan darah dalam keadaan darurat tetap diperbolehkan. Keselamatan nyawa adalah prioritas utama.
Namun, jika memungkinkan, sebaiknya donor darah dilakukan setelah bersuci. Hal ini menunjukkan ketaatan kita terhadap anjuran agama dan menjaga kesucian diri.
Penting untuk diingat, Islam adalah agama yang fleksibel. Dalam keadaan darurat, keringanan diberikan.
Mendahulukan keselamatan jiwa adalah pilihan yang tepat, tetapi tetaplah berusaha untuk menjalankan anjuran agama sebaik mungkin.
Ibaroh
وَمن لزمَه غسل يسن لَهُ أَلا يزِيل شَيْئا من بدنه وَلَو دَمًا أَو شعرًا أَو ظفرا حَتَّى يغْتَسل لِأَن كل جُزْء يعود لَهُ فِي الْآخِرَة فَلَو أزاله قبل الْغسْل عَاد عَلَيْهِ الْحَدث الْأَكْبَر تبكيتا للشَّخْص
Artinya, “Bagi orang wajib mandi, maka disunahkan tidak menghilangkan sesuatu yang menjadi bagian tubuhnya, seperti, darah, rambut dan kuku sampai ia mandi wajib (suci). Sebab semua itu akan dikembalikan untuknya di akhirat. Jikaia menghilangkannya sebelum mandi wajib, maka hadats besar akan kembali kepada orang tersebut sebagai celaan bagi dirinya.” (Nawawi aAl-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr, 2010] halaman 30).
قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يُزِيلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ أَظَافِرَهُ أَوْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ أَوْ عَانَتَهُ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبَيِّنَ جُزْءً مِنْ نَفْسِهِ وَهُوَ جُنُبٌ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُبْعَثُ عَلَيْهَا فَتَعُودُ بِصِفَةِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا
Artinya, “Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin mengatakan, “Sebaiknya orang tidak menghilangkan suatu bagian dari rambut, memotong kuku, menggundul kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah, ataupun melakukan hal lain terhadap bagian tubuhnya, sedangkan ia dalam keadaan junub.
Sebab, semua bagian-bagian tersebut akan dikembalikan kepadanya di akhirat dan bersama bagian tersebut pula ia akan dibangkitkan. Maka (jika terpotong) akan kembali dengan sifat jinabahnya. Juga dikatakan, setiap rambut akan meminta pertanggungjawaban karena kondisi junubnya.” (Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tt.], juz I, halaman 166).
Disadur dan ditulis ulang dari NU Online