Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mendapat sorotan tajam dari Komisi VII DPR RI terkait kebijakan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Isu ini mengundang banyak perdebatan, tidak hanya di kalangan legislatif, tetapi juga di masyarakat luas.
Kritik dan Dukungan dari Anggota DPR
Salah satu anggota Komisi VII DPR, Dedi Sitorus, menyatakan bahwa pihaknya sebenarnya tidak menentang kebijakan tersebut. Namun, menurutnya, alasan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan yang disampaikan oleh Menteri Bahlil didasarkan pada hasil perjuangan ormas tersebut.
“Banyak pihak lain yang berjuang berdarah-darah untuk Republik kita. Legion Veteran Republik Indonesia yang tidak dapat bulanan, mereka menderita,” kata Dedi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR pada Selasa, 11 Juni 2024. Pernyataan ini menyiratkan dukungan kepada veteran yang telah berjasa besar namun sering kali terabaikan dalam berbagai kebijakan.
Masyarakat Adat dan Ketidakadilan Distribusi Izin Tambang
Dedi juga menyoroti nasib masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Menurutnya, masyarakat adat di Kalimantan Utara telah lama menetap di wilayah tersebut namun hanya bisa menyaksikan ratusan kapal yang mengangkut batu bara untuk diekspor tanpa mendapatkan manfaat apa pun.
“Bahkan, tanah mereka diambil untuk keperluan plasma, yang hingga kini masih menjadi sumber konflik. Di mana letak keadilan substansial dalam distribusi keadilan ini?” tanya Dedi. Ia menekankan pentingnya memberikan izin tambang juga kepada organisasi yang mewakili hak masyarakat adat setempat.
“Contoh di Kalimantan. Hampir semua desa ada lembaga adat. Di mana sampai saat ini mereka hanya dapat rempah-rempah kekayaan alam kita ini,” sambung Dedi.
Kebijakan yang Berhati-Hati dari Kementerian Investasi
Menanggapi kritik dan pertanyaan tersebut, Bahlil menjelaskan bahwa proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Meskipun ada kebijakan dari pemerintah yang memungkinkan ormas untuk mengelola usaha pertambangan, verifikasi dan persyaratan ketat tetap diberlakukan.
“Pemerintah nanti yang menentukan nanti misalnya, ada yang ngajuin. Kita verifikasi memenuhi syarat, kita kasih dan persyaratannya akan ketat, tidak gampang, harus dia punya badan usaha,” kata Bahlil usai Rapat Kerja.
Selain memiliki badan usaha, badan usaha dari ormas tersebut harus memiliki saham yang dimiliki oleh koperasi untuk mencegah penyalahgunaan. IUP nantinya tidak dapat dipindahtangankan dan harus dikelola secara profesional agar dapat memberikan pendapatan kepada badan usaha milik ormas, yang kemudian dapat digunakan untuk mendukung program-program sosialnya.
Kualitas Kader dan Profesionalisme Ormas
Bahlil menambahkan bahwa ormas saat ini memiliki kader-kader yang berkualitas, banyak di antaranya pengusaha besar dan memiliki sumber daya finansial. Asalkan mereka mengikuti aturan, menjaga lingkungan, dan membayar pajak, maka tidak ada alasan untuk tidak memberikan izin kepada mereka.
“Kebijakan ini berlaku untuk semua ormas keagamaan,” tegas Bahlil. Ia juga menekankan pentingnya memberikan sosialisasi lebih lanjut terkait kebijakan ini untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan semua pihak memahami dengan jelas.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Kebijakan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan menimbulkan berbagai harapan dan tantangan. Di satu sisi, kebijakan ini dapat membuka peluang bagi ormas untuk mengembangkan usaha yang dapat mendukung program-program sosial mereka. Di sisi lain, perlu ada pengawasan ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan izin dan agar manfaat dari tambang tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas, termasuk masyarakat adat.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Sosialisasi yang baik dan pengawasan ketat menjadi kunci dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Kesimpulan
Kebijakan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan yang dicanangkan oleh Menteri Bahlil Lahadalia memang menimbulkan pro dan kontra. Namun, dengan verifikasi yang ketat dan persyaratan yang jelas, kebijakan ini memiliki potensi untuk memberikan manfaat bagi banyak pihak, termasuk masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan.
Ke depannya, diharapkan semua pihak dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia dikelola dengan baik dan memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia. Mari kita dukung upaya pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang adil dan merata untuk semua pihak.