Di penghujung kekuasaannya, Presiden Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, menghadapi tuduhan keterlibatan dalam Gerakan 30 September (G30S), sebuah noda hitam dalam sejarah bangsa. Tuduhan ini menyeretnya menjadi tahanan rumah hingga akhir hayatnya pada tahun 1970, dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Salah satu dasar tuduhan tersebut adalah kesaksian dua ajudannya, Kolonel Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur, yang menyatakan bahwa Soekarno terlibat dalam perencanaan penculikan dan pembunuhan para jenderal. Namun, apakah kesaksian mereka dapat dipercaya ataukah ini hanyalah rekayasa politik Orde Baru untuk menjatuhkan sang Putra Fajar?
Kesaksian Kolonel Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur menjadi pilar utama tuduhan keterlibatan Soekarno dalam G30S. Namun, bila diteliti lebih dalam, terdapat sejumlah kejanggalan dan inkonsistensi yang meragukan kebenaran klaim mereka.
Menurut Bambang Wijanarko, suatu hari di serambi belakang istana, Soekarno terlihat berbicara dengan Jaksa Agung Jenderal Sutardio dan Jaksa Agung Muda Jenderal Sunario. Bambang mengaku tidak mendengar isi pembicaraan, tetapi kemudian diperintahkan untuk memanggil Jenderal Sabur, komandan pasukan pengawal presiden Cakra Birawa. Sabur lalu memanggil Untung. Dalam pemeriksaan resmi, Jenderal Sabur menyatakan bahwa Soekarno bertanya kepada Untung, “Apakah kamu siap melaksanakan perintah untuk menangkap para jenderal yang tidak loyal?” Untung pun menjawab, “Siap.” Sabur juga mengklaim bahwa Soekarno memerintahkan Jenderal Sutardio dan Sunario untuk menyiapkan tempat penahanan bagi para jenderal tersebut.
Namun, mengapa tidak ada dokumen atau catatan resmi tentang perintah ini? Jika benar terjadi, mengapa Jenderal Sutardio dan Sunario sendiri membantah keras klaim ini? Keduanya menyatakan bahwa pertemuan itu hanyalah pembicaraan rutin dan tidak ada hubungannya dengan rencana penculikan.
Lebih spektakuler lagi, Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur melaporkan bahwa pada malam 30 September 1965, tepat sebelum G30S terjadi, Letkol Untung datang menemui Soekarno di Senayan saat ia bersiap memberi amanat di hadapan Akademi Jini. Menurut mereka, Untung menunggu Soekarno di toilet, lalu memberikan secarik kertas kepada Soekarno. Soekarno membacanya, merobek, dan membuangnya ke toilet. Klaim ini sangat problematik karena tidak ada saksi lain yang mengonfirmasi kejadian ini. Kolonel Saelan, Wakil Komandan Cakra Birawa yang selalu mendampingi Soekarno, menyatakan bahwa adegan itu tidak pernah terjadi. Mengapa Untung harus menyerahkan perintah rahasia di toilet, bukan melalui jalur yang lebih aman? Jika memang ada perintah tertulis, mengapa tidak ada upaya untuk menyelamatkan atau merekonstruksi isi kertas tersebut?
Pertanyaan besar adalah mengapa hanya dua orang ini yang memberikan kesaksian yang menjerat Soekarno? Kolonel Bambang Wijanarko adalah perwira KKO (Korps Komando Angkatan Laut) yang kemudian menjadi bagian dari rezim Orde Baru. Jenderal Sabur adalah komandan Cakra Birawa yang setelah peristiwa G30S tetap memegang jabatan strategis di bawah rezim baru. Ada indikasi bahwa kesaksian mereka dibuat untuk memenuhi narasi Orde Baru bahwa Soekarno terlibat dalam G30S sehingga pembuangannya dari kekuasaan bisa dibenarkan.
Jika Soekarno benar-benar ingin membersihkan para jenderal yang tidak loyal, ia memiliki banyak cara resmi untuk melakukannya tanpa perlu gerakan rahasia seperti G30S. Sebagai Panglima Tertinggi ABRI, ia bisa memecat atau mengadili mereka secara hukum. PKI yang dekat dengan Soekarno tidak perlu melakukan aksi sepihak jika memang Soekarno sudah merencanakan penindakan. Fakta bahwa tidak ada dokumen atau bukti kuat yang menghubungkan Soekarno dengan G30S, sementara kesaksian dua ajudannya pun dibantah oleh saksi-saksi lain, menunjukkan bahwa tuduhan ini mungkin rekayasa politik.
Keterangan Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur tidak cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan Soekarno dalam G30S. Banyak kejanggalan dan kontradiksi yang membuat klaim mereka diragukan. Lebih mungkin bahwa kesaksian ini dipaksakan untuk melegitimasi penggulingan Soekarno oleh kekuatan politik baru saat itu. Sejarawan harus mempertanyakan apakah kesaksian ini benar-benar fakta sejarah atau hanya alat propaganda untuk menghancurkan Soekarno. Tanpa bukti yang lebih konkret, tuduhan bahwa Soekarno memerintahkan Letkol Untung untuk menghabisi para jenderal tetap sangat lemah secara historis.
Kesaksian Kolonel Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur tentang keterlibatan Soekarno dalam G30S tidak hanya mengandung kejanggalan internal, tetapi juga dibantah secara tegas oleh saksi-saksi kunci lain, terutama Kolonel Saelan, Wakil Komandan Cakra Birawa, serta Jenderal Sutardio dan Sunario. Bantahan mereka meruntuhkan fondasi narasi resmi Orde Baru yang mencoba mengaitkan Soekarno.
Kolonel Mawi Saelan, sebagai Wakil Komandan Cakra Birawa, adalah salah satu orang terdekat Soekarno pada malam 30 September 1965. Dalam berbagai kesempatan, ia secara konsisten menyangkal klaim bahwa Letkol Untung pernah bertemu Soekarno di Senayan. Saelan menegaskan bahwa ia terus mendampingi Presiden sejak kedatangan di Senayan hingga kembali ke istana. Jika benar ada pertemuan rahasia dengan Untung, mustahil ia tidak menyadarinya. Ia juga menyatakan tidak ada dokumen atau bisik-bisik antara Soekarno dan Untung. Klaim tentang secarik kertas yang dibuang ke toilet dinilai terlalu dramatis dan tidak masuk akal mengingat Saelan selalu berada dalam jarak dekat dengan Presiden.
Saelan mencurigai bahwa kesaksian kedua ajudan itu dipaksakan oleh rezim baru untuk menjadikan Soekarno sebagai kambing hitam G30S. Penting dicatat bahwa Saelan tidak memiliki alasan untuk berbohong. Setelah tahun 1965, ia justru diasingkan karena loyalitasnya kepada Soekarno, sementara Sabur dan Bambang tetap mendapat posisi di rezim Orde Baru.
Klaim bahwa Soekarno memerintahkan persiapan penahanan para jenderal melalui Jaksa Agung Sutardio dan Jaksa Agung Muda Sunario juga dimentahkan langsung oleh kedua jenderal tersebut. Mereka menjelaskan bahwa pertemuan 20 September bersifat rutin, membahas tugas-tugas biasa kejaksaan, bukan konspirasi penculikan. Mereka juga menyatakan tidak ada perintah atau pembicaraan tentang jenderal tidak loyal. Bahkan, Jenderal Sabur tidak pernah hadir dalam pertemuan itu, bertentangan dengan kesaksiannya bahwa ia menyaksikan Soekarno memberi instruksi. Bantahan ini secara langsung meruntuhkan kredibilitas Jenderal Sabur karena menunjukkan bahwa ia mungkin mengarang cerita untuk menyesuaikan narasi penguasa baru.
Bantahan Kolonel Saelan dan Jenderal Sutardio-Sunario memperkuat teori bahwa kesaksian Sabur-Bambang adalah rekayasa. Tidak ada saksi independen yang mendukung klaim pertemuan rahasia. Kesaksian mereka baru muncul setelah Soeharto berkuasa, ketika rezim baru membutuhkan legitimasi untuk menjatuhkan Soekarno. Soekarno sendiri selalu membantah keterlibatannya, termasuk dalam pidato pertanggungjawaban Nawaksara yang ditolak MPRS.
Keterangan Kolonel Saelan, Jenderal Sutardio, dan Sunario secara telak membongkar kelemahan tuduhan Orde Baru terhadap Soekarno. Jika memang ada konspirasi tingkat tinggi di balik G30S, tidak logis bahwa hanya dua orang, Sabur dan Bambang, yang menjadi saksi utama, sementara saksi-saksi lain yang justru lebih dekat dengan peristiwa menyangkalnya. Ini menunjukkan bahwa kesaksian Sabur dan Bambang adalah alat politik, bukan fakta sejarah. Tragisnya, narasi inilah yang kemudian digunakan untuk memenjarakan Soekarno hingga akhir hayatnya. Sejarawan hari ini harus kritis: apakah kita sedang mengulangi versi resmi Orde Baru atau mencari kebenaran yang selama ini disembunyikan?
Narasi resmi Orde Baru tentang keterlibatan Soekarno dalam G30S mengandung kontradiksi logis yang fatal dan motif politik yang jelas. Jika dianalisis secara kritis, klaim bahwa Soekarno memerintahkan penindasan terhadap para jenderal tidak loyal justru bertabrakan dengan fakta-fakta historis berikut:
Jika Soekarno benar-benar ingin membersihkan para jenderal anti-Soekarno seperti Ahmad Yani, Nasution, dan lain-lain, mengapa PKI harus bergerak secara clandestine melalui G30S? Sebagai Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno memiliki kewenangan resmi untuk memecat atau mengadili para jenderal yang dianggap membangkang. Tidak perlu ada operasi rahasia yang melibatkan pasukan tak resmi seperti yang dilakukan Untung CS. PKI saat itu sedang di puncak pengaruh politiknya dan memiliki akses kuat ke Soekarno. Jika memang ada rencana pembersihan, mereka bisa mendorong tindakan formal melalui jalur hukum atau kepresidenan, bukan melalui penculikan ilegal yang justru merusak citra mereka.
Syam, Biro Khusus PKI, sendiri mengakui bahwa G30S adalah inisiatif internal PKI tanpa koordinasi langsung dengan Soekarno. Ini memperkuat bahwa gerakan tersebut bukan bagian dari skema besar Soekarno, melainkan aksi sepihak kelompok tertentu dalam PKI. Artinya, narasi bahwa Soekarno merestui G30S justru membuat PKI terlihat bodoh. Kenapa harus mengambil risiko tinggi dengan kudeta militer jika Presiden sendiri bisa bertindak secara sah?
Kesaksian Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur tidak memiliki dasar kuat, tetapi tetap digunakan untuk menjatuhkan Soekarno karena mereka adalah orang dalam istana yang bisa memberikan legitimasi seolah-olah ada bukti langsung. Keduanya selamat dari pembersihan pasca-G30S dan tetap memegang jabatan di era Orde Baru, sebuah indikasi bahwa kesaksian mereka mungkin dibeli atau dipaksakan. Tidak ada dokumen atau saksi independen yang mendukung klaim mereka, sementara saksi lain seperti Saelan, Sutardio, dan Sunario justru membantah. Ini menunjukkan bahwa tuduhan terhadap Soekarno sengaja dibangun untuk melegitimasi kudeta Halus Soeharto dengan menjadikan Soekarno sebagai dalang G30S, memutus hubungan emosional rakyat dengan Soekarno dengan mencitrakannya sebagai pengkhianat, dan membersihkan jalan bagi Orde Baru untuk mengambil alih kekuasaan tanpa perlawanan.
Meski tidak ada bukti kuat, Soekarno tetap dijadikan tahanan rumah dengan perlakuan keji. Ia dipindahkan ke gudang bekas rumah Dewi Soekarno, hidup dalam kondisi kumuh tanpa perawatan medis yang layak, dilarang menerima tamu, termasuk keluarga dan pengacara sehingga tidak bisa membela diri, dan diisolasi secara psikologis dengan propaganda masif bahwa ia terlibat pembunuhan jenderal. Soekarno meninggal dalam keadaan sakit parah pada tahun 1970 tanpa rehabilitasi nama baik hingga akhir hayatnya. Perlakuan ini tidak proporsional jika Soekarno benar-benar bersalah. Nyatanya, ia tidak pernah diadili secara fair, hanya dihukum melalui pengasingan dan penghancuran reputasi.
Kontradiksi dalam narasi Orde Baru tentang G30S terlalu mencolok. Tidak masuk akal PKI melakukan kudeta jika Soekarno sendiri bisa bertindak resmi. Tidak ada bukti otentik bahwa Soekarno memberi perintah pada Untung, hanya kesaksian dua orang yang diragukan. Motif politik Orde Baru terlalu kuat untuk menjadikan Soekarno sebagai tumbal transisi kekuasaan. Fakta-fakta ini mengarah pada satu kesimpulan: Soekarno tidak terlibat G30S, tetapi sengaja difitnah untuk mematikan pengaruhnya. Sejarah harus dikoreksi, bukan berdasarkan versi pemenang, tetapi berdasarkan fakta yang terabaikan. Sejarah ditulis oleh para pemenang, tetapi kebenaran tidak selalu milik mereka. Revisi narasi G30S adalah tugas generasi sekarang untuk mengembalikan keadilan bagi Soekarno.
Kesaksian Bambang Wijanarko dan Jenderal Sabur tampak dipaksakan untuk menciptakan narasi bahwa Soekarno terlibat dalam G30S. Namun, dengan adanya bantahan dari saksi-saksi lain dan ketiadaan bukti kuat, tuduhan ini lebih mirip rekayasa politik Orde Baru untuk melegitimasi penggulingan Soekarno. Sejarah harus dilihat secara jernih. Jika Soekarno benar-benar ingin membersihkan para jenderal yang tidak loyal, ia memiliki kekuasaan untuk melakukannya secara resmi tanpa perlu gerakan rahasia seperti G30S. Fakta bahwa ia justru menjadi korban dari situasi ini menunjukkan bahwa ia mungkin menjadi sasaran fitnah untuk menghancurkan warisan politiknya. Kini, setelah puluhan tahun, sudah saatnya kita meninjau kembali narasi sejarah yang selama ini mungkin dibangun di atas kesaksian-kesaksian yang diragukan kebenarannya.
Apakah Soekarno benar-benar terlibat dalam G30S atau hanya korban rekayasa politik?