
Hong Kong, yang dikenal sebagai pusat keuangan global, kini menduduki peringkat kedua sebagai kota dengan jumlah miliarder terbanyak di dunia setelah New York. Fenomena menarik terjadi di mana anak-anak muda Hong Kong lebih memilih untuk pindah ke Cina Daratan daripada menetap di kota mereka sendiri. Mengapa hal ini terjadi, padahal sebelumnya banyak warga Hong Kong yang menentang pemerintahan Cina?
Selama lebih dari 150 tahun, Hong Kong berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris hingga akhirnya dikembalikan ke Cina pada tahun 1997. Sejak saat itu, Hong Kong menjadi bagian dari Cina dengan status “satu negara, dua sistem,” yang memungkinkan Hong Kong memiliki otonomi dalam pemerintahan, sistem ekonomi, mata uang, dan bahkan bendera sendiri. Meskipun demikian, banyak warga Hong Kong yang tidak ingin diidentifikasi sebagai orang Cina, terutama generasi muda yang lebih memilih identitas lokal mereka.
Dulu, ketika Hong Kong masih makmur, banyak pekerja dari Cina Daratan berbondong-bondong mencari pekerjaan di sana. Namun, mereka seringkali dipandang rendah oleh warga lokal Hong Kong yang menganggap mereka sebagai pesaing dalam pasar kerja yang semakin padat. Kini, situasinya berbalik. Banyak anak muda Hong Kong yang justru mencari peluang kerja dan tempat tinggal di Cina Daratan. Bahkan, beberapa demonstran yang dulunya menentang campur tangan Cina, kini mencari nafkah di sana.
Alasan utama di balik fenomena ini adalah faktor ekonomi. Hong Kong memang kaya, tetapi kesenjangan sosial di sana sangat tinggi. Sebagian besar kekayaan hanya dikuasai oleh sebagian kecil penduduk, menjadikan Hong Kong sebagai salah satu kota dengan ketimpangan pendapatan terburuk di dunia. Selain itu, biaya hidup di Hong Kong juga sangat mahal, terutama biaya sewa tempat tinggal yang terus meroket.
Survei menunjukkan bahwa masyarakat Hong Kong cenderung pesimis terhadap masa depan mereka. Banyak anak muda yang mengalami depresi dan merasa tidak memiliki harapan jika tetap tinggal di Hong Kong. Sebaliknya, masyarakat di Cina Daratan jauh lebih optimis terhadap masa depan mereka. Kondisi ini mendorong banyak anak muda Hong Kong untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Cina Daratan, di mana biaya hidup lebih terjangkau dan peluang ekonomi lebih menjanjikan.
Selain faktor ekonomi, kondisi politik di Hong Kong juga menjadi alasan bagi banyak anak muda untuk pindah ke Cina Daratan. Mereka merasa kecewa dengan reformasi politik yang dianggap gagal dan semakin kuatnya intervensi pemerintah pusat di Beijing. Konsep “satu negara, dua sistem” semakin tergerus, membuat banyak warga Hong Kong merasa kehilangan identitas dan otonomi mereka.
Di sisi lain, pemerintah Cina terus berupaya untuk mengintegrasikan Hong Kong dan Makau ke dalam Greater Bay Area, sebuah zona ekonomi terpadu yang menghubungkan kota-kota utama di Provinsi Guangdong dengan dua wilayah administratif khusus tersebut. Proyek ini diharapkan dapat menyaingi Silicon Valley di Amerika Serikat dan menjadi pusat ekonomi baru di Asia. Namun, banyak pihak yang mengkritik proyek ini karena khawatir akan semakin menghilangkan ciri khas Hong Kong dan mengancam konsep “satu negara, dua sistem.”
Terlepas dari pro dan kontra, fenomena anak muda Hong Kong yang pindah ke Cina Daratan adalah sebuah realitas yang tidak dapat diabaikan. Keputusan ini didorong oleh berbagai faktor, mulai dari masalah ekonomi hingga kekecewaan politik. Respon dari masyarakat Cina Daratan pun beragam. Alih-alih memandang rendah seperti dulu, mereka kini menyambut baik kedatangan warga Hong Kong karena dianggap dapat meningkatkan perekonomian lokal dan mempererat hubungan antara kedua wilayah.