Oleh Muhammad AS Hikam
President University
(Gus Dur seperti sudah tahu bahwa hari atau tepatnya malam ini saya akan sowan, sebab begitu saya masuk ke ruang depan ternyata beliau sudah senyam-senyum di situ sambil duduk di sofa berwarna keemasan. Buru-buru saya langsung menyalami dan mencium tangan beliau):
“Assalamu’alaikum, Gus..”
“Salam..Kang, piye kabere, waras tah?” jawab belia
“Alhamdulillah Gus, saya dan keluarga sehat, hanya saya agak mengkhawatirkan keluarga saya yang di Yogya, walaupun rumah mereka di daerah sekitar Kampus UGM..” Kata saya setelah duduk di kursi berhadapan dengan beliau.
“Insya Allah mereka baik-baik saja, yang penting selalu siap siaga, jangan ogah-ogahan mengungsi kalau memang sudah diberi peringatan..” kata GD.
“Iya Gus, korban semakin meningkat jumlahnya dan seperti biasa tampaknya Pemda DIY dan Pemerintah Pusat kurang siap menghadapi lonjakan pengungsi dan jumlah korban yang begitu banyak dibanding dengan 2006. Dan nasib mBah Marijan, Gus…”
“Ya… Kang, saya juga sudah ketemu mBah Marijan, kemarin… Beliau tampaknya juga sudah semeleh, walaupun juga terharu dengan situasi yang terjadi di tanah leluhurnya.” Kata GD memotong
“Alhamdulillah Gus kala mBah Marijan sudah bertemu dengan njenengan, dan kita semua berdoa agar beliau mendapat karunia Allah swt. Berita wafatnya beliau sangat luas dan beliau menjadi salah satu contoh sebuah loyalitas dan dedikasi terhadap tugas, sebuah fenomena yang makin sulit dicari di negeri kita, Gus.” Kata saya
“Bener Kang, dari dulu ketika masih belum terkenal saya sudah sering ketemu simbah, apalagi kan beliau pengurus NU di kampungya juga. Saya sering menyinggung sosok mBaha Marijan dalam pidato-pidato di depan para nahdlyyin, supaya menjadi teladan etos kerja yang baik dan bukti bahwa orang NU ada di mana-mana, dari Presiden sampai penjaga Gunung berapi yang aktif seperti Gunung Merapi itu, hehehe…” Kata GD disusul dengan tawa panjang.
“Tapi saya ini jadi ingin tanya, maknanya secara ilmu hikmah apa ya Gus, kok rasanya bencana seperti ini datang silih berganti. Sebelumn Merapi meletus, kan Tsunami menghantam Pulau Mentawai dan banjir mekanda Wasior, Papua Barat. Korban-korban dari kedua bencana juga ratusan nyawa dan entah berapa harta benda, Gus..”
“Sebelum sampai ke soal makna dari ilmu hikmah, ya kita perlu refleksi sebagai manusia dan bangsa yang menghadapi berbagai bencana, bukan sekarang ini saja, tetapi juga sebelum-sebelumnya seperti Tsunami Aceh, gempa Jogja 2006, Lapindo 2006, longsor di mana-mana, gempa di Padang dan Bengkulu dst. Pertanyaannya apakah kita belajar dari itu, gitu lho Kang? terutama Pemerintah kita apakah menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang seperti itu, atau selalu hanya bereaksi setelah peristiwa saja?
“Dulu ketika saya Presiden sampean ingat ada bencana longsor di Purworejo, sampean sebagai Menristek saya oprak-oprak ikut mencarikan solusi preventif. Bukan hanya solusi karitatif, yang memang juga penting. Juga waktu ada gempa di Bengkulu, saya juga oprak-oprak agar dipikirkan membangun rumah tahan gempa agar ada kemampuan preventif, dll…”
“Iya Gus, waktu itu saya membuat tim Mitigasi Bencana lintas lembaga riset di bawah Menristek supaya bisa membantu mengatasi tahap tanggap darurat..” Saya memotong penjelasan GD.
“Lha iya, Kang, mestinya Pemerintah kerjanya ya seperti itu apalagi sudah ada pengalaman di Aceh yang luar biasa dan di Jogja, Masya Allah, dalam empat tahun terjadi dua kali bencana yang disebabkan letusan Merapi. Kan seharusnya Pemda DIY juga siap, Kalau rakyat Indonesia, pasti mudah digerakkan untuk membantu dalam hal karitatif atau kedermawanan sosial. Tetapi soal preventif adalah kerja Pemerintah, kerja negara. Wong sudah punya UU penanggulangan bencana dan badan penanggulanagan bencana nasional segala rupa, kok. Ini semua ndak jalan ya karena Pemerintah dan elit politiknya cuma mikir diri sendiri dan sibuk gegeran, lupa sama rakyatnya..”
“Istilahanya makin tidak bersentuhan dengan kenyataan, ya Gus…”
“Persis. Negara-negara lain kan juga sangat cepat ingin membantu, tetapi karena birokrasi yang ruwet dan kemungkinan korupsi yang tinggi, maka bantuan luar malah menjadi bahan konflik yang lain. Lihat saja ada gagasan agar bantuan luar negeri diberikan dalam bentuk duit kontan. Apa-apaan yang begitu itu? Ini menunjukkan gejala koruptif pejabat Indonesia dan lemahnya manajemen Pemerintahan. Yang namanya bantuan ya macam-macam, tidak selalu duit kontan. Tapi ya namanya pikiran cari untung duluan, akhirnya yang munsul malah kebijakan yang aneh-aneh. Ujung-ujungnya, bantuan luar negeri menjadi tidak efektif.” Kata GD panjang lebar.
“Lha lalu soalh makna hikmahnya, Gus..” Tanya saya mengingatkan.
“Kalu saya Kang, musibah itu berarti peringatan Allah swt agar kita tidak melalaikan tanggungjawab sebagai khalifah fil ardl, sang penanggungjawab pengelolaan bumi. Terutama juga peringatan bagi pemimpin-pemimpin bahwa ketidak pedulian terhadap lingkungan dan kesejahteraan rakyat bersiko besar. Kan kasus seperti Lapindo berawal dari manusia yang lalai. Walaupun soal letusan Merapi adalah force majeur, kalau upaya preventifnya bagus kan minimum juga korbannya, Dan lain-lain.. ”
“Apa ada urusannya dengan pemimpin yang gagal, Gus… hehehe…” Kata saya memancing.
“Itu kan kata paranormal dan kepercayaan Jawa kuno. Kita tidak menolak bahwa kepercayaan dan tradisi itu ada, namun kita memaknainya dengan perkembangan zaman. Bisa saja dimaknai bahwa kalau pemerintah tidak mampu memberikan pelayanan untuk mencegah dan paska bencana dengan baik, ya itu kan artinya gagal. Kalau rakyat menilai Pemerintah yang gagal tidak usah dipercaya, ya bisa saja. Tapi bukan lalu harus melakukan makar dan sebagainya, kan?” Jawab GD.
“Tapi GD dulu kayaknya percaya banget ada peringatan dari supra natural di balik peristiwa-peristiwa bencana yang dikaitkan dengan kekuasaan..”
“Namanya ilmu kan dari berbagai sumber, Kang, Ada yang rasional ada yang beyond rationality. Orang NU kan tidak boleh hanya satu dimensi rasional melulu, atau non rasional saja. Saya juga meyakini ada pesan-pesan supra natural atau gaib tetapi yang kita lakukan sebagai ikhtiar ya harus rasional. Sudah bukan zamannya lagi mengklaim diri sebagai Ratu Adil dan memaklumkan perang. Kita berjuang mengingatkan penguasa secara prosedural demokratis, dan mengajak rakyat supaya meminta pertanggungjawaban kepada penguasa yang dipilihnya. Kan nati sejarah juga yang akan menilai, penguasa mana yang mendengar dan tidak mendengar tuntutan rakyat…” Gus Dur menjelaskan
“Suasana tidak kondusif makin terasa lho Gus, bukan hanya karena bencana alam tetapi juga disorientasi pemerintah sehingga ada kesan tidak bisa konsentrasi bekerja dan pembuatan kebijakan publik yang ad- hoc. Apalagi ditambah DPR yang makin ngawur dan tidak peduli dengan kepercayaan rakyat yang makin rnedah kepadanya.”
“Lha mau gimana, Kang, kalau pemerintahan tidak punya ketegasan bertindak karena khawatir tidak populer, Resikonya ya itu, tidak jelas. Karena sistem yang dibuat tidak mengharuskan adanya kejelasan dan ketegasan. Bolak-balik rapat dan membuat puluhan tim tapi hasilnya ya cuma perlu dibuat rapat lagi dan membuat tim lagi. Mbulet, jadinya, kan?”
“Negara Panitia, Gus, hehehe,,,”
“Hehehe.. negara panitia, tim dan komisi… makanya cari komisi melulu…” seloroh GD.
“Sebelum pamitan, Gus, kapan musibah begini akan selesai ya..”
“Ya itu urusan Gusti Allah, Kang. Kita harus selalu siap saja dan mengusahakan sekuat tenaga agar dalam menghadapi musibah yang kasat mata ini manusia menarik pelajaran baik yang bersifat ikhtiar memperbaiki dan menjcegah, maupun yang rokhani, yaitu berdoa dan bertaubat. Kita sering lupa bahwa mau bagaimana juga, kita ini manusia yang lemah dan tidak apa-apanya di hadapkan dengan kekuasaan Tuhan. Makanya tidak boleh arogan dan sombong…”
“Njih Gus, sudah malam, saya mohon pamit dulu. wawancara kita banyakyang suka lho Gus, jangan kapok ditnayain melulu..” Kata saya sambil salaman.
“Mau kapok juga percuma, Kang, hehehe…. Salam untuk semua teman sampean yang menyukai wawancara kita.”
“Assalamu’alaikum, Gus..”
“Salaam…”