Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis), Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).
Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata; “Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat sebutan itu. Dan ada pernyataan seseorang mengatakan, bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah (sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi’ien atau tabi’it-tabi’ien.
Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga disebut orang-orang yang jujur dari Kufah. Dan mereka semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; “Mereka adalah kaum sufi yang sangat berhati-hati di dalam beribadah…” kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya tentang Shufiyah Al-Arzaq; “Mereka adalah kaum sufi yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya (wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka.”
Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi dan Kitab-Kitab Tasauf
Ibnu Taimiyah berkata, “Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai sumber ilmunya. Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi adalah kelompok ahli bid’ah, yakni orang yang ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah para Nabi.”
Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan kata-katanya; “Yang benar…, mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu. Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar (perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan atas kesalahannya.” Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum sufi dan ahli salaf.
Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. Ia juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti dibantah dan hadis-hadis dha’if dalam kitab itu. Akan tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.
Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya tentang kitab Ihyaa ‘Ulumuddien, karangan al-Ghazali dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu Thalib al-Makki. Ia menjawab; “Kitab-kitab itu telah membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan tauhid seseorang. Maka Abu Thalib lebih banyak mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam ilmu hati dari kalangan sufi.”
Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki dan berkata; ” Wawasannya luas sekali dan jauh dari faham bid’ah. Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada, itu adalah hadis dha’if dan maudhu’.”
Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya Ar-Ri’ayah li Huquqillah.”
Ibnu Taimiyah berkata: “Sedangkan pembicaraan al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak ( al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain. Adalah nukilan dari kitab Ri’ayah al-Muhasibi diantara pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama. Tetapi kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat.”
Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi ia berkata; ” Dalam kitab itu ada materi pembahasan yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam akhirat dan lain-lain.
Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu Hamid. Maka berkata; “Apakah dia berpura-pura sakit?” sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al’Arabi, al-Hafid al-’Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis dha’if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.
Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh sufi yang bijaksana. Ia berkata,”Di dalam kitab Ihyaa Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang bijaksana dan alim dalam mengetahui perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah
1. At-Tuhfah al-’Iraqiyah fi A’mal al-Qalbiyah (Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; “Pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah).
Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal.” Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh mereka.
Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta, tawakkal, ikhlas, raja’, takut kepada Allah (khauf) dan syukur. Dan dalam risalahnya ini, ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi.
Qaidatul Mahabbah (Dasar Cinta Kasih)
Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul “at-Tuhfah al-’Iraqiyah fil A’mal al-Qalibiyah”; “… Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang dititahkan kepadanya.
Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang Khalik (pencipta)”. Dan satu-satunya cara Ibnu Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua amal baiknya kepada Illahi.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan pandangan al-Fadhil bi ‘Iyadh tentang sebuah ayat al-Quran: “Agar Dia menguji siapakah di antara kamu sekalian yang lebih amalnya.” (Hud:7)
Kemudian dia melanjutkan; …dengan ikhlas dan benar: Murid-muridnya bertanya; “mengapa mesti ikhlas dan benar?” AL-Fadhil menjawab; “Karena Allah tidak akan menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi Ta’ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas dan benar”.
Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan …. “rasa cinta harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah.” Dan ia mengulang kata-katanya; “rasa cinta itu menuntut dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang sempurna pula. Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang mengurangi cintanya seorang hamba.”
Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta kepada Allah:
“Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya.”
2. Kitab Al-Istiqamah
Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain adalah “Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal I’tidal (prinsip dasar kejujuran dan keadilan). Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini, kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah beserta para pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi Ibnu Taimiyah semakin meningkat.
Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ibnu Taimiyah berkata: “Ada satu pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy’ariyah. Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak Al-Asfarayaini. Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan; “Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi dengan ilmu kalam kelompok Asy’ariyah dan Kilabiyah.”
Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok Kilabiyah dan Asy’ariyah yang menganut faham ilmu kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran kepada al-Qusyairi. Pada akhir kitabnya ini Ibnu Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya al-Qusyairi.
Di sarikan dari buku Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah karya Dr. Thiblawy Mahmoud Saad