Jakarta, NU Online. Sejak tampil sebagai tokoh NU di Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur 1983 KH Abdurrahman Wahid sudah menggagas NU itu harus memperkuat jatidirinya, mandiri dan mabadi’ khoiru ummah. Karena itu Gus Dur itu besar, karena memiliki pemikiran yang besar sebagai reformis kologial, sebagai pendobrak dan mandiri. Dan, akibat kemandiriannya itu dalam memimpin NU, maka Gus Dur tidak mudah dikuasasi oleh penguasa.
Demikian disampaikan mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada pembukaan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PKB Gus Dur di Kantor DPP PKB Gus Dur di Kalibata, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (9/4), yang dihadiri oleh 33 DPW PKB Gus Dur se-Indonesia.
Menurut Hasyim Muzadi, Gus Dur itu kelasnya presiden, sehingga tidak mudah dikuasasi oleh presiden yang sedang berkuasa. Oleh sebab itu, sebagai tokoh NU beliau tidak merasa bangga kalau hanya dipanggil oleh presiden. Alhasil, kemandirian itu menjadikan NU melambung ke tingkat nasionan dan internasional secara visioner.
Selain itu Gus Dur siap terbakar, siap mengalah dan siap berkorban untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara yang lebih besar. Sementara tokoh lain hanya siap membakar dan merusak-rusak rakyatnya. Anehnya, siap jungkir-balik siang malam hanya merasa bangga karena dipanggil oleh presiden.
Namun, di tengah kebesaran Gus Dur itu banyak orang berkelompok-kelompok. Di mana di antara orang-orang itu pertama, ada yang mengerti pemikiran Gus Dur dan mengamalkan serta mengembangkannya. Kedua, menikmati kebesaran Gus Dur, tapi tidak sebangun dengan visi Gus Dur.
Kelompok kedua ini, hidupnya yang semula keleleran di jalanan, terus merasa menjadi orang, pakai dasi, beruang dan memiliki jabatan. Dan, anehnya mereka ini tetap di bawah lindungan Gus Dur, tapi melawan Gus Dur melalui tangan orang lain. Itulah orang-orang yang penuh dengan kemunafikan.
Pada 23 Juli tahun 1998 Gus Dur mendirikan PKB dengan tiga pemikiran besar. Yaitu pemikiran keagamaan, integrasi kebangsaan dan politik. Itulah yang harus dikembangkan dan diimplementasikan dalam kondisi politik yang sudah sampai pada titik masyaa Allah , yaitu menghalalkan segala cara sekarang ini.
Yaitu politik yang tidak mabadi’ khoiru ummah, tidak mengabdi untuk kepentingan rakyat. Melainkan untuk memperkaya diri sendiri, penuh dengan kebohongan, politik transaksional, banyak makelar kasus dan pemerasan hukum. Hal itu melahirkan dua golongan; yaitu, yang kaya makin kaya sekali dan yang miskin bertambah mlarat.
Dengan demikian, maka yang terjadi adalah jual beli politik. Demokrasi menjadi industry politik. Yaitu bisa mengatakan demokrasi di mana-mana, tapi tidak bisa dibuktikan. Demokrasi yang tidak lagi melindungi, mengadvokasi dan tidak mensejahterakan rakyatnya dan sebaliknya mendzalimi dan menindas rakyatnya. Karena itu sampai kapan Negara ini bertahan oleh gerogotan parpol dengan transaksi politik tersebut?
Untuk itulah perlu normalisasi demokrasi Indonesia. Sehingga, yang harus dinormalisasi itu bukan saja PSSI, tapi juga PKB dan demokrasi bangsa ini. Dan, yang pasti bagi pelanjut perjuangan politik Gus Dur perlu orientasi perjuangan, disiplin dan pegangan politik agar tidak keluar dari mabadi’ khoiru ummah, mengabdi untuk kepentingan umat, bangsa dan Negara.
Sementara itu Ketua Umum PKB Gus Dur, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid menegaskan jika PKB tidak boleh menghamba kekuasaan, tapi harus kembali kepada jatidi partai untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.
Bahwa uang dan kekuasaan itu tidak menjamin eksistensi partai. Banyak partai besar di era Orde Baru, tapi jatuh setelah reformasi. Demikian pula, parpol yang berkuasa ternyata jatuh dan turun drastic perolehan suaranya dalam pemilu. Dengan demikian, kita harus akhiri politik transaksional dan PKB Gus Dur siap mengikuti pemilu 2014.