Gerakan Penyelamat Nahdlatul Ulama (GPNU) Jawa Timur menilai Sutradara kontoversial, Hanung Bramantyo dangkal pengetahuanya tentang Nahdlatul Ulama (NU). Untuk itu, GPNU menolak rencana Hanung membuat film sekuel ‘Sang Pencerah’ yang akan menceritakan tentang pendiri NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari.
Forum kultural warga NU yang didirikan pada 12 Desember 2004 sesaat setelah Muktamar NU ke 31 di Asrama Haji Donohudan, Solo ini bahkan meminta Hanung untuk mengaji ke sejumlah kiai NU sebelum membuat karya-karya yang melibatkan sosok dan organisasi NU agar tidak menyinggung perasaan.
Sekuel ‘Sang Pencerah’ sendiri merupakan kelanjutan dari film sebelumnya yang menceritakan mengenai sosok pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Ketua GPNU, M Khoirul Rijal mengatakan, GPNU khawatir kekurangpekaan Hanung dalam isi materinya, hanya akan mengundang kontrovesi hingga keresahan warga nahdliyin.
Menurutnya, meski sebagian kalangan menyebut Hanung dibilang sukses membuat film tokoh KH Ahmad Dahlan, ‘Sang Pencerah’, yakni pendiri Muhammadiyah. Namun terbukti dalam setiap serial film yang bertopik soal agama, Hanung selalu mengundang sikap kontroversial dalam isi skenarionya.
Buktinya, kata dia, dalam film “Tanda Tanya” Hanung menyebut Banser sebagai pekerjaan. “Ini kan bukti kedangkalan pengetahuan Hanung soal isi materi yang disajikan dan berusaha merendahkan institusi Banser,” katanya.
Contoh lain dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” selain mengisahkan kebobrokan pesantren dan kiainya, juga terkesan mendukung komunisme. Misalnya, sebagaimana terlihat adanya pencitraan bahwa sejumlah santri menjadikan buku-buku sastrawan kiri sebagai bacaan wajib. Padahal itu tidak ada dalam novelnya.
Kontraversial dalam sebuah film memang bisa memiliki nilai positif, karena bagian dari sistem marketing, sebab bisa mengundang minat masyarakat tertarik menontonnya. Namun jika kontroversial tersebut sengaja diciptakan dalam film, lebih-lebih yang menceritakan soal perjuangan tokoh agama. Hal ini akan malah mengundang sentimen negatif sebagian kelompok pengikutnya.
Sentiment tersebut bisa saja menjadi konflik agama, karena timbulnya rasa kebencian. “Jika hal yang sama akan dilakukan pada film KH Hasyim Asy’ari, GPNU khawatir nanti akan mengundang kemarahan warga nahdliyin,” katanya.
Dikatakannya, membuat film tidak bisa dinilai hanya dari segi estetika, ketepatan cerita menjadi pertimbangan utama dalam film sejarah. Sebab kalau ada sedikit ketidakpuasan bahkan kontroversi dari kelompok masyarakat, film akan ditolak, maka akan kehilangan pemirsa.
Jika memang Hanung tetap memaksakan akan membuat film sekuel tentang pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Maka GPNU meminta Hanung agar terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Pengurus PBNU, serta keluarga KH Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng tentang isi materi skenario. “Koordinasi itu penting, karena film seperti ini sudah menyangkut soal ajaran yang disampaikan Rois Akbar NU itu,” katanya.