Malang, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyakini pemerintah dan pihak kepolisian telah mengetahui keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) dan jaringan-jaringannya, termasuk beberapa pesantren. Namun mereka mendiamkan saja karena tidak didukung dengan payung hukum yang kuat.
Menurutnya, banyak pihak telah meyakini bahwa polisi sebenarnya telah mengetahui keberadaan beberapa pesantren yang diduga menjadi jaringan organisasi makar NII seperti Pesantren Al Zaytun di Indramayu, beberapa pesantren di Solo, Cirebon, Majalengka, dan Kuningan.
Saat menghadiri haul ke-6 para pendiri Pesantren Roudlotul Muhsinin di Desa Kuwolu, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (14/5), Said Aqil mengusulkan perlunya undang-undang baru pengganti undang-undang subversif yang telah dicabut.
“Setelah undang-undang ini dicabut, maka tindakan-tindakan yang mengarah kepada terorisme atau makar tidak bisa ditindak. Terorisme hanya bisa ditindak kalau sudah kejadian. Jadi pendekatannya murni kriminal. Maka perlu ada undang-undang anti teror yang lebih menggigit,” katanya.
Usulan ini tidak berarti setuju dengan cara orde baru dalam menangani berbagai kasus yang tekait dengan persolan keamanan. Menurut Said Aqil, undang-undang anti teror yang baru harus tetap menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
“Kalau ada yang diduga terkait terorisme ya boleh ditangkap tapi kalau tidak terbukti ya harus segera dilepaskan, tidak boleh disiksa. Undang-undang anti teror yang baru ini tetap tidak boleh bertentangan dengan HAM,” katanya.
Dalam kesempatan itu pihaknya berharap pihak kepolisian kepolisian betul-betul serius dalam memberantas jaringan terorisme. Said Aqil menegaskan, seluruh elemen PBNU mendukung pemerintah memberantas keberadaan organisasi makar maupun segala bentuk aksi teror. “Dukungan PBNU tidak berguna apabila kepolisian tidak serius dalam memberantas jaringan terorisme,” tambahnya.