Jakarta, NU Online
Sastro al Ngatawi, mantan asisten pribadi Gus Dur memiliki banyak pengalaman dalam persentuhannya dengan Gus Dur. Banyak pengalamannya yang luar biasa dan memiliki makna spiritual yang mendalam.
Suatu ketika, ia diajak oleh Gus Dur untuk melakukan ziarah ke makam Eyang Gusti Aji di kaki gunung Lawu. Makam tokoh ini dikenal sebagai tempat untuk bersemedi kelompok abangan. Hampir semua tokoh abangan ziarahnya ke tempat ini.
Jam dua malam, mereka mulai naik menuju ke pemakaman.
Sastro lalu bertanya “Kita ngapain Gus disana nanti”.
Gus Dur: “Ya tahlil, wong bisanya kita tahlil.”
Sastro: “Katanya tokoh ini pentolannya abangan”
Gus Dur: “Yang ngerti Islam atau bukan hanya Gusti Allah”
Selanjutnya tahlil pun digelar, dan dalam berdoa mereka menyebut “Doa untuk ahli kubur yang dimakaman disini, kalau Engkau meridhoi,”
Setelah selesai tahlil, juru kunci meminta Gus Dur untuk masuk dalam gedung tempat penyimpanan pusaka. Disana, ia diminta mengambil pusaka, dan apa yang diambil itu yang nantinya akan jadi pegangan. Gedungnya sendiri pun tidak memakai lampu sehingga gelap gulita dan pemilihan pusaka yang akan diambil akhirnya sangat spekulatif.
Akhirnya Gus Dur pun masuk dan mengambil satu pusaka, dan ternyata yang terambil oleh Gus Dur adalah sebuah buku. Lalu Gus Dur diminta untuk mengambil satu lagi, dan memperoleh kain.
Begitu dibuka di luar ruangan, buku yang terambil tersebut ternyata adalah kitab Al Qur’an. Diambilnya Al Qur’an berarti untuk pegangan hidup.
Sastro: “Kalau selendangnya sendiri apa artinya Gus”
Gus Dur: “Embuh mungkin untuk ngendong bongso (ngak tahu, mungkin untuk merawat bangsa).
Selanjutnya, al Qur’an yang terambil tersebut diminta kembali sedangkan selendangnya boleh dibawa pulang.
“Wah, beliau yang dimakamkan disini ternyata wali kutub yang menyembunyikan diri,” kata Gus Dur.