Lewat berbagai kegiatan kemanusiaan yang digelutinya, KH Abdul Muhaimin memiliki misi lebih luas. Dia berupaya merajut kedamaian lintas agama dalam bingkai kebinekaan bangsa.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat di Kotagede, Yogyakarta, itu berusaha mewujudkan misinya dengan beragam cara. Pada masa tanggap darurat erupsi Gunung Merapi, November 2010, KH Abdul Muhaimin (57) mengunjungi 13 gereja di DI Yogyakarta yang menampung pengungsi beragama Islam.
Kunjungan itu dilakukan setiap hari menjelang maghrib, selama hampir satu bulan. Di gereja-gereja itu KH Muhaimin memberikan siraman rohani kepada para pengungsi dan memimpin acara pengajian.
Sosok KH Muhaimin telah dikenal dalam berbagai gerakan perdamaian antaragama di Yogyakarta. Pada 24 Maret 1997, bersama 70 pemuka agama lainnya, KH Muhaimin mendeklarasikan berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB). Deklarasi dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Ummahat yang didirikannya karena saat itu tidak ada yang berani menjadi tempat deklarasi FPUB.
Pendeklarasian FPUB berkaitan dengan seringnya terjadi kerusuhan yang mengatasnamakan agama. Hingga saat ini dia masih aktif sebagai Koordinator FPUB yang terus mengampanyekan perdamaian dalam keberagaman.
Kunjungan ke gereja-gereja yang dia lakukan saat erupsi Merapi merupakan salah satu upaya meredam konflik agama. Kegiatan ini dimulai menyusul peristiwa pengusiran 200 pengungsi Merapi dari Gereja Katolik Ganjuran, Bantul, DI Yogyakarta, oleh sekelompok orang.
“Kelompok ini mengusung isu Kristenisasi dan melarang pengungsi bernaung di gereja. Padahal, saya sama sekali tidak melihat adanya upaya Kristenisasi saat itu. Ulah kelompok ini justru menambah kekhawatiran pengungsi yang tengah gundah dan membuat pihak gereja ketakutan,” katanya.
Erat hubungan
KH Muhaimin menuturkan, Al Quran memberikan kisah-kisah dramatis mengenai eratnya hubungan Muslim-Kristiani pada zaman dulu. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak pernah ada masalah di antara agama-agama tersebut.
Menurut bapak delapan anak ini, meruncingnya konflik akibat perbedaan agama di Indonesia merupakan imbas dari politik internasional Amerika Serikat yang diskriminatif terhadap masyarakat Muslim. Kondisi ini juga dipicu oleh kebijakan yang menekan dari pemerintah Orde Baru.
“Masyarakat Indonesia sekarang ini sebenarnya korban dari semua keruwetan politik itu. Sebenarnya, bangsa Indonesia dari dulu adalah bangsa yang rukun dan bisa menghargai perbedaan,” tuturnya.
Keprihatinan akan meningkatnya permasalahan karena perbedaan agama ini membuat KH Muhaimin mengambil tindakan-tindakan yang sering mendapat kecaman dari rekan-rekannya sendiri.
Kecaman ini datang salah satunya karena dia sering menerima undangan untuk memberikan sambutan dalam peringatan Natal. Jumat pekan pertama tahun 2011, KH Muhaimin kembali diundang memberikan sambutan dalam peringatan Natal di sebuah institusi pemerintah.
Dari tempat memberikan sambutan pada perayaan Natal itu, KH Muhaimin langsung berangkat ke masjid untuk shalat Jumat. “Kegiatan saya di gereja atau memberikan sambutan pada peringatan Natal tak mengurangi keislaman saya. Toh, saya tidak pernah mengikuti ritus agama lain,” tuturnya.
Persahabatan
Namun, selain kecaman, keteguhan dan keterbukaannya dalam mengupayakan perdamaian lintas agama ini mendatangkan persahabatan dari beragam kalangan dan agama di seluruh dunia.
Sejak 1990-an, KH Muhaimin membuka pintu pondok pesantren asuhannya bagi semua pemeluk agama yang ingin mengetahui kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku tamu pondok pesantren yang berada di tengah perkampungan itu tercatat banyak pemeluk agama lain, seperti pemuka agama Buddha, Katolik, Kristen, dan Hindu, dari dalam dan luar negeri.
Chika Yoshida, mahasiswi Buddha asal Universitas Chiba, Jepang, pernah tinggal di Pondok Pesantren Nurul Ummahat selama 1,5 bulan. “Satu-satunya komunitas Muslim yang tak bisa ditembus globalisasi adalah komunitas pesantren,” tulis Yoshida di buku tamu.
Pondok pesantren khusus putri itu telah dikunjungi tamu dari 70 negara, termasuk komunitas agama dari Palestina, utusan Presiden AS Barack Obama, dan para biksu Buddha. Mereka meninggalkan kesan positif.
KH Muhaimin mengatakan, membuka pintu pondok pesantren adalah upaya memberikan jalan bagi masyarakat yang berbeda agama untuk belajar satu sama lain dan untuk saling menerima.
Kesadaran akan keberagaman itu tumbuh dari masa kanak-kanak Muhaimin. Terlahir dalam keluarga Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat Muhammadiyah, Muhaimin telah mengenal perbedaan sejak kecil. “Saya selalu puasa dan merayakan Idul Fitri berbeda dengan para tetangga saya. Namun, bagi saya, perbedaan itu justru indah karena tetangga pun menghormati kami,” tuturnya.
Erupsi Merapi meninggalkan beragam pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Dia kini tengah sibuk membantu pembangunan kembali saluran-saluran air dan penghijauan kembali hutan lereng Merapi yang rusak akibat lahar dan awan panas.
Misi untuk merajut perdamaian dalam keberagaman itu masih terus diusungnya. Untuk pemasangan pipa air, misalnya, dia bekerja sama dengan biarawati Katolik di kawasan tersebut. Dia juga berkoordinasi dengan Yoseph Suyatno Hadiatmojo Pr, pastor di Gereja Somohitan, Girikerto, Turi, Sleman, Koordinator Kampanye Damai FPUB yang juga tengah memasang pipa saluran air di bagian barat Sungai Boyong.
Untuk penghijauan, KH Muhaimin merancang penanaman pohon oleh anak-anak dari berbagai agama. Di tangannya, kemanusiaan pun menjadi alat untuk menggapai kemanusiaan yang lebih luas.
*** KH Abdul Muhaimin
Lahir: Kotagede, Yogyakarta, 13 Maret 1953
Penghargaan: – Tasrif Award – Penghargaan dari Sultan Hamengku Buwono X sebagai Kiai Pemerhati Kebudayaan
Pekerjaan: – Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta.
Jabatan: – Koordinator FPUB – Ketua Konsorsium Toya Mili – Ketua Konsorsium Palem – Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace – Dewan Pembina Impulse – Beberapa jabatan di organisasi nirlaba lainnya.
Sumber : Kompas Cetak | Kamis, 13 Januari 2011