Oleh H. As’ad Said Ali
Sekjend PBNU
Salafi dan Wahabi
Istilah salafi pada mulanya digunakan oleh beberapa komunitas Sunni. NU menggunakan istilah ini untuk kesetiaan terhadap model ajaran para imam-imam madzab dalam memecahkan problem masa kini. Sejak awal, NU juga telah mengklaim sebagai kelompok ”ahlussunnah wal jamaah”. Istilah yang juga kini digunakan gerakan wahabi/salafi.
Istilah Salafi kemudian digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo tatkala hendak membangun gerakan pembaharuan di Mesir. Di tangan Abduh, istilah Salafi sedikit mengalami pergeseran makna yang dikaitkan dengan semangat pembaharuan dan pemurnian. Di sini salafi dirujukkan pada model pemahaman para penganut Islam paling awal, yaitu Nabi dan Sahabat.
Gerakan pemurnian yang lain, khususnya wahabisme, ternyata pada mulanya tidak menggunakan istilah ini. Mereka mengkampanyekan pemurnian ajaran dengan merujuk langsung Qur’an dan Sunnah dengan model pemahaman yang literal. Di Indonesia, Muhammadiyah dan Persis yang juga mengusung tema pemurnian ajaran, juga tidak menggunakan istilah salafi. Walaupun ketiganya sama-sama menggeluti isu-isu bidah,kurafat dan sejenisnya.
Istilah Salafi kemudian dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin Al-bani pada dekade 1980-an di Madinah. Jamaahnya kemudian dikenal dengan al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasib. Hampir sama dengan wahabisme, salafi yang dimaksudkan Albani adalah suatu gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan mengedepankan kampanye pembasmian terhadap segala sesuatu yang dianggap bid’ah. Albani tidak menggunakan nama wahabisme dikarenakan istilah ini, dianggap kurang tepat. Di dalamnya terkesan ada pemujaan terhadap tokoh. Di samping itu,salafi yang dimaksudkan, tidak sama persis dengan wahabi resmi pemerintah Arab Saudi. Perbedaannya, salafi menegasikan atau menolak semua pemikiran mazhab. Sedangkan wahabi Arab Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hambali (kendati tidak pernah diakui secara resmi).
Kendati berbeda, keduanya sesungguhnya berakar pada semangat yang sama yaitu keinginan untuk memahami Islam tekstual secara ketat. Sandarannya hanya Quran dan hadits sahih. Adapun terhadap hadits non-sahih mereka cenderung kritis dan lebih menyukai tidak menggunakannya. Mereka juga mengenal “golden period” praktek kemurnian Islam yaitu zaman tiga generasi awal (sahabat, tabiin dan tabiut tabiin). Zaman ini disebut salafus shaleh.
Pemurnian yang diusung oleh Al-Bani memang tidak begitu berbeda dengan pemurnian yang dibawa Muhammad bin Wahab pada abad 13. Mereka sama-sama prihatin terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, mereka berusaha memerangi segala sesuatu yang dianggap bidah. Namun bedanya, di tangan Al-Bani dan mereka yang sehaluan dengannya, kategori bidah bisa sangat luas mencakup pada fenomena kemodernan, baik yang dihasilkan kemajuan teknologi maupun perilaku dan paham pemikiran. Televisi, foto manusia dan patung adalah terlarang. Duduk berdua yang bukan muhrim, kendati di dalam taksi, adalah terlarang. Daftar sesuatu yang dianggap haram atau bid’ah ini bisa sangat banyak.
Karena semangat tekstualisme yang sangat kuat itulah maka boleh dikatakan, gerakan salafi sekarang ini adalah bentuk lain dari wahabisme namun dengan pendekatan yang lebih radikal. Radikalisme ini bersumber dari prinsip ketaatannya yang ketat pada teks Quran dan hadits shohih serta hanya melihat praktek Islam murni pada cara yang digunakan para salafus shaleh. Karena itu, ketika mendapatkan fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada dalam praktek masa salafus shaleh, mereka akan menentangnya dan tidak akan berkompromi. Dengan cara ini mereka melawan paham-paham modern, seperti demokrasi dan partai politik. Mereka juga mengharamkan organisasi. Semua itu dianggap bidah karena tidak ada prakteknya pada masa tiga generasi awal Islam.
Ketaatan pada model klasik (salafus shaleh) juga menyebabkan gerakan ini tidak mengenal organisasi resmi. Mereka mengembangkan gerakan dengan instrumen hubungan guru-murid yang sangat setia. Pola yang memang telah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hubungan yang bersifat personal dan penuh ketaatan ini Salafi berkecambah berbagai penjuru dunia.
Konteks politik gerakan Wahabi/Salafi dan lahirnya Salafi Jihadi
Pandangan wahabi/salafi sebagaimana disinggung di muka, pada awalnya hanya berkembang di Arab Saudi dan sebagian wilayah Timur Tengah, seperti Yaman dan Jordan. Paham ini kurang mampu berkembang luas di dunia muslim karena karakter paham wahabi/salafi yang tidak kompatibel dengan tradisi sufisme ataupun sunni madzhab di belahan dunia muslim lainnya. Wahabisme juga kurang berkembang di Palestina, tanah yang terus membutuhkan ideologi perlawanan yang kuat. Faktor lain yang turut menghambat perkembangan wahabi/salafi adalah sikap pemerintah Arab Saudi yang cenderung inward looking dalam pengembangan ajaran salafi dan wahabi di dunia internasional.
Krisis politik dalam negeri Arab Saudi tampaknya menjadi titik krusial bagi perkembangan gerakan wahabi/salafi. Dominasi wahabi/salafy mulai dipertanyakan oleh gerakan Al-sahwa al-Islamiyyah (Kebangkitan Islam) yang saat itu mulai berkembang di sejumlah universitas Arab Saudi.
Akar-akar gerakan ini dapat ditelusuri dari tahun 1960-an ketika pemerintah Saudi membuka peluang bagi para aktifis Islam untuk tinggal di Saudi. Para aktivis Islam yang melarikan diri ke Saudi kebanyakan adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Syria. Pemerintah menampung mereka untuk mengelola berbagai lembaga pendidikan di Arab Saudi yang saat itu kekurangan tenaga pengajar. Sikap ini sekaligus sebagai strategi “perlawanan” Arab Saudi” terhadap kelompok Gamal Abdul Naser di Mesir dan partai Baath di Irak.
Pada mulanya aktivis Ihwanul Muslimin yang mengajar di universitas Arab Saudi memang tidak menunjukkan tanda perlawanan terhadap kerajaan. Mereka satu pemikiran dengan paham wahabi terutama dalam hal ibadah dan tauhid. Namun, perhatian dalam dunia politik (sikap kritis terhadap penguasa) yang dimiliki oleh akitivis Ihwan, adalah titik awal perbedaan mereka dengan ulama-ulama wahabi.
Hal lain yang membedakan kalangan as-sahwah al-Islamiyah dengan Wahabi, kalangan as-sahwah al-Islamiyah sangat familiar dengan peralatan modern saat itu, seperti menggunakan tape recorder, radio, dimana saat itu masih diperdebatkan penggunaannya.
Simpang jalan Wahabi dengan as-Sahwah al-Islamiyah mulai terasa saat Juhayman al-Utaybi pada tahun 1979 mengambil alih Masjidil Haram di Mekkah. Kendati gerakan ini mudah ditumpas, namun Jumayman terhadap gaya hidup Barat (sekularisasi) dan penolakannya terhadap politik Arab Saudi yang pro Amerika Serikat secara perlahan menimbulkan simpati terutama di Universitas Islam Madinah.
Menyadari akar gerakan di kampus, maka raja kemudian berusaha menekan mereka. Cara yang ditempuh, salah satu diantaranya, adalah memperkuat posisi ulama wahabi. Hal ini dimaksudkan agar lembaga keulamaan wahabi, akan mampu mengkooptasi kalangan as-sahwah al-Islamiyah. Usaha ini tentu saja tidak mudah mengingat pengaruh Ikhwan sudah cukup kuat di kampus. Cara lain adalah mengganti guru-guru di universitas. Mereka yang berpaham Ikhwan segera diganti dengan yang berpandangan wahabi/salafi.
Sikap pemerintah tersebut tampaknya disambut antusias oleh kalangan ulama Wahabi. Tampaknya, ulama Wahabi juga merasakan bahwa gerakan as-Sahwah dianggap telah melenceng. Pasalnya, sikap kritisisme yang artikulatif terhadap penguasa adalah sesuatu “terlarang” dalam paham wahabi. Apalagi mereka mengadopsi gagasan Sayyid Qutub yang dianggap ulama Wahabi sebagai ahlul Bid’ah.
Dalam konteks inilah Nashiruddin Al-Bani berusaha memberikan “perlawanan” terhadap gerakan as-sahwah” dengan mendeklarasikan kembali pentingnya memulai gerakan pemurnian Islam secara lebih radikal. Mereka mengelompokkan diri dalam al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasiba (JSM) yang dipimpin oleh Nasr al-Din al-Albani di Madinah. Kelompok salafi ini menolak semua aliran fiqih dalam Islam. Bagi kelompok salafi, aliran fiqih adalah buah pemikiran manusia, karena itu jika ingin, beribadah dengan benar, maka harus kembali pada Qur’an dan sunnah an sich. Karena sikap ini, salafi menjadi gerakan yang sangat konservatif, puritan dalam gaya hidup dan belajar agama secara informal di masjid (halaqoh) yang bukan berbasis wahabi dan universitas yang bukan basis as-sahwah al-Islamiyah. Dengan kata lain, perhatian salafi lebih diutamakan pada hal-hal yang bersifat keimanan individual, moral dan praktek ritual. Adapun masalah-masalah sosial, budaya dan isu politik mereka kurang memberi perhatian yang kuat. Pada tahun 1980-an itu pula kelompok ini telah menyebar ke Kuwait, Yaman, dan utara Saudi.
Akan tetapi, as-sahwah dan ulama wahabi kembali bersatu dalam isu jihad Afganistan. Pada awal dekade 1980-an itu, ketika Sovyet menginvasi Afgan, hampir seluruh ulama sepakat untuk mendukung Afgan secara konkret dengan mem”fardlu ain”kan. Atas kesepakatan ulama ini pula, Abdullah Azzam berangkat ke Afgan.
Dukungan terhadap Afgan, ternyata bersesuian dengan kepentingan internasional Arab Saudi. Keterlibatan Iran dalam konflik Afganistan telah dianggap sebagai ancaman serius bagi hegemoni tidak langsung Arab Saudi dalam dunia Muslim. Bagaimanapun keterlibatan Iran dianggap manifestasi kepentingan mengekspor pandangan syiah (pasca revolusi Iran) dalam dunia muslim lainnya. Sesuatu yang akan mengancam hegemoni Arab Saudi. Karena itulah, Saudi berkepentingan untuk memberikan “perlawanan” politik terhadap sikap Iran dengan berusaha membantu Afgan secara material dan tenaga jihad.
Pada masa perang Afgan, assahwah mengalami perkembangan yang sangat penting. Kelompok ini semakin mendekatkan diri pada pemikiran Sayyid Qutub guna memompa semangat jihad. Lahirlah kemudian penyerbukan gagasan antara pemikiran Ikhwanul Muslimin (Sayyid Qutub) dengan pemikiran wahabi. Perkawinan gagasan ini kemudian melahirkan paham salafi jihadi.
Atas kecenderungan ini, Salafi di bawah ajaran Nashiruddin Al Bani dan Bin Baz tentu saja menentangnya. Mereka mulai mengecam para jihadi sebagai jihad yang tidak murni, keluar dari riil salafi. Perselisihan ini tidak pernah terselesaikan sehingga kedua kelompok akhirnya mengambil jalan masing-masing. Simpang jalan pun terjadi. Hal ini semakin dikuatkan tatkala Arab Saudi mulai mengurangi dukungannya seiring penarikan pasukan Uni Sovyet di Afgan. Simpang jalan kembali terjadi dan sulit dipertemukan kembali. Sejak saat ini, gerakan salafi terbelah dalam dua garis besar. Pertama, salafi puritan di bawah Nashiruddin Al-Bani, Bin Baz, Sheh Mugbil dan sebagainya. Kedua, salafi jihadi yang dipelopori Abdullah Azzam, Mullah Umar dan seterusnya.
Kedua kelompok ternyata saling berkompetisi. Salafi jihadi berkembang seiring dengan luasnya medan jihad seperti di Afgan dan Asia Tengah hingga Eropa Timur. Sementara itu, salafi puritan juga semakin terdorong meluaskan pengaruhnya pada wilayah yang hampir bersamaan.
Diaspora Salafi Puritan
Gerakan salafi puritan menyebar luas di berbagai belahan dunia sebetulnya relatif baru. Awal dekade 1980-an adalah titik penting awal mula sebaran ajaran salafi puritan. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, go international dari ajaran ini terutama didorong oleh konstelasi dalam negeri Arab Saudi serta perang Afganistan. Dua peristiwa tersebut menandai awal mula lahirnya gerakan salafi puritan pada level international.
Bagaimanakah ajaran ini disebarkan? Dalam pola salafai puritan, model jaringan organisasi sebetulnya tidak dikenal. Sebagai gantinya gerakan ini berkembang biak melalui jaringan guru-murid. Di sini tokoh penting yang perlu disebut adalah Nashiruddin Al-Bani dan Sheyh Mugbil Yaman. Dua maha guru salafi ini sekarang mempunyai institusi semi-formal yang menjadi pusat perkembangan gerakan salafi.
Pusat utama perkembangan tentu saja Arab Saudi. Universitas-universitas kembali menjadi basis kaderisasi salafi. Akan tetapi, segera perlu mendapat catatan, tidak semua alumni universitas Arab Saudi menjadi agen penting penyebaran ajaran salafi puritan. Bagaimanapun jejak ajaran Ikhwanul Muslimin masih terasa di sana. Hal ini nantinya terlihat pada alumninya di mana sebagian diantaranya justru menjadi aktivis ikhwanul muslim di berbagai negara.
Di luar universitas, tempat yang berperan penting adalah halaqoh-halaqoh yang diadakan ulama Wahabi secara informal. Halaqoh inilah yang nantinya menjadi titik penting kaderisasi serta melahirkan jaringan guru-murid. Sayangnya, perkembangan halaqoh salafi di Arab Saudi justru tidak sepesat di Jordan maupun Yaman.
Jordan kini telah menjadi basis penting perkembangan salafi puritan. Kendati Albani memulai gerakan salafi dari Madinah, namun Albani justru mengembangkan salafi puritan secara intensif di tanah kelahirannya. Di sini dia membangun semacam pondok pesantren yang berperan penting dalam kaderisasi dakwah. Para murid senior Albani kemudian mendirikan Markaz Imam Albani di Aman, Jordania. Mereka adalah Syekh Salim bin Ied Al-hilaly, Syaikh Ali Hasan al-Halaby, Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Masyhur Alu Salman, Syaikh Husain al-Awaisyah. Berkat ketenaran Albani, dalam waktu singkat Markaz mampu menarik minat banyak kalangan dari banyak negara untuk mendalami salafi.
Alumni Markaz Albani sekarang ini telah menyebar ke banyak negara. Mereka umumnya terjun dalam dunia dakwah dengan mengembangkan ajaran salafi puritan. Jaringan komunikasi mereka cukup intensif. Setidaknya telah diadakan beberapa kali pertemuan reuni. Dapat diduga pertemuan tersebut menjadi ajang konsolidasi gerakan salafi. Publikasi penting dari Markaz Imam Albani adalah “Pokok-Pokok Aqidah Salafiyah”. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang berisi prinsip-prinsip dasar ajaran salafi puritan.
Pusat kedua adalah Pondok Sheyh Muqbil di Dammaj, Yaman. Pondok yang terletak di sebuah desa terpencil ini telah dikunjungi murid dari berbagai penjuru dunia, mulai dari negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, (tentu saja dengan jumlah murid yang lebih sedikit) hingga negara-negara mayoritas sunni, khususnya kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Asia Tenggara. Pada Sheyh Muqbil inilah Jafar Umat Talib berguru ajaran salafi.
Perkembangan salafi puritan makin menemukan momentumnya tatkala pemerintah Arab Saudi secara tidak resmi memberikan bantuan dana bagi operasi dakwah salafi puritan di berbagai penjuru dunia. Bantuan ini umumnya mengalir lewat individual, yayasan ataupun lembaga islam internasional seperti Rabithah dan IIRO. Untuk Robithoh dan IIRO, aliran bantuannya memang tidak membedakan friksi dalam salafi. Kedua lembaga ini hanya concern terhadap perkembangan Islam terutama yang mengusung ideologi Salafi. Orientasi ke salafi ini sangat kuat karena sebagian besar organisasi Islam sunni moderat di Indonesia umpamanya, kurang mendapatkan bantuan dari organisasi Islam internasional tersebut.
Perpecahan dan Munculnya Salafi “Sururiah”
Gerakan salafi tampaknya belum bisa melepaskan diri dari konflik dan ketegangan politik di Arab Saudi. Ketegangan ini telah berimbas pada terbelahnya gerakan salafi internasional pada dua kubu penting. Pertama, mereka yang berkiblat pada ulama resmi pemerintah. Dalam barisan ini tidak saja ulama-ulama resmi Arab Saudi, melainkan pula jaringan Markaz Imam Albani Jordan dan jaringan Pondok Syeh Muqbil Yaman. Dua jaringan yang mempunyai operasi yang bersifat internasional.
Kedua, mereka yang berkiblat pada ulama yang melakukan oposisi atau bersikap kritis terhadap kerajaan. Salah satu tokoh pentingnya adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Dia merasa kecewa dengan sikap pemerintah Arab Saudi yang didukung ulama Wahabi atas koalisi Amerika Serikat dengan Arab Saudi dalam kasus Perang Teluk Pertama dan kedua. Surur mengecam keras sikap ulama Arab Saudi yang menjustifikasi keterlibatan Amerika dengan mengatakan bahwa mereka adalah budaknya Amerika. Sikap keras ini lantas mendatangkan penentangan yang sengit dari seluruh ulama wahabi resmi. Mereka ramai-ramai mengecam Muhammad Surur sebagai tokoh yang telah keluar dari manhaj salafi karena berani mengkritik ulama dan pemerintah. Akhirnya, Surur harus terusir dari Arab Saudi dan kini menetap di Birmingham Inggris. Surur kemudian mengembangkan Yayasan Al-Muntada dari Inggris.
Muhammad Surur tidak sendirian. Dia kemudian bersua gagasan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq, orang Saudi yang dituduh menikam ulama wahabi atau salafi Saudi, karena mendukung Ikhwanul Muslimin. Abdul Khaliq kini mengoperasikan Yayasan Ihya’ut Turats dari Kuwait. Pertemuan ini melahirkan poros Birmingham-Kuwait dan melahirkan suatu group baru dalam gerakan salafi internasional. Group ini dikenal dengan sebutan “sururiyah” dan kini menjadi bulan-bulanan kecaman dari group salafi/wahabi resmi.
Tokoh lain dalam barisan Sururiyah ini adalah Salman bin Fahd Al-Audah. Dia adalah ulama wahabi atau salafi Saudi yang dimasukkan kepenjara selama lima tahun (1994 sampai 1999) karena dituduh menentang pemerintah yang sah dengan melakukan protes terhadap tindakan korpsi dan tindakan menyalahi kesusilaan yang dilakukan oleh pemerintah Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. Setelah terjadi 11 September 2001, Salman bin Fahd Al-Audah dituduh sebagai penasehat Osama bin Laden oleh pihak Saudi Arabia dan pihak Amerika.
Di samping itu terdapat ulama Aidh Al Qarni. Seorang ulama wahhabi/salafi Saudi yang menentang Yahudi dan Amerika yang dianggapnya sebagai negara yang melakukan teror. Kecaman tersebut dibaca sebagai penentangan terhadap pemerintah dan ulama wahabi resmi yang saat itu menjustifikasi koalisi Amerika-Saudi. Dengan sikap yang anti Amerika dan Yahudi inilah akhirnya pihak ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Aidh Al Qarni sebagai orang yang melecehkan ulama.
Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali adalah ulama wahhabi yang menentang kebijaksanaan dobel standar George W. Bush dan menentang kebijaksanaan politik pemerintah Kerajaan Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud yang bergandengan serta paralel dengan kebijaksanaan politik Amerika, sehingga Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali dianggap melecehkan ulama wahabi atau salafi Saudi.
Muhammad bin Abdillah Al Masari ulama wahabi atau salafi Saudi yang merupakan pelopor Hizbut Tahrir di Saudi Arabia, yang sekarang menetap di Inggris karena diusir dari Saudi. Ulama-ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Muhammad bin Abdillah Al Masari menentang dan melecehkan ulama ahlus sunnah dan dianggap sebagai khawarij, karena Muhammad bin Abdillah Al Masari mengklaim bahwa pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tidak mengadili berdasarkan lembaga hukum Islam.
Konteks politik tersebut menjadi semakin rumit karena pertikaian antar ulama salaf tersebut berlangsung dalam wacana ideologis. Mereka yang setia dengan ulama wahabi resmi menganggap Muhammad Surur telah keluar dari Salafi karena berani mengkritik pemerintah dan ulama, sesuatu yang terlarang dalam doktrin salafi puritan. Kritikan ini terus digemakan oleh salafi puritan dengan memberi label Muhammad Surur sebagai ahli bidah dan kelompoknya diberi label “sururiyun”. Kritikan makin menguat tatkala Surur ternyata menjalin hubungan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq yang mentoleransi pemikiran Ikhwanul Muslimin.
Menghadapi tekanan Salafi puritan, Surur dan Abdurahman Abdul Khaliq tampaknya kurang reaktif untuk membalasnya. Mereka justru semakin intensif mengembangkan gagasan salafiyah versi mereka. (untuk gampangnya sebut saja “sururirah). Gerakan ini tetap berbeda dengan gerakan salafi jihadi maupun salafi puritan. Secara umum salafi sururiah lebih sensitif dalam persoalan politik kendati tensi jihad tidak sekuat salafi jihadi. Dalam menanggapi problem sosial, salafi sururiah lebih toleran dan responsif dibandingkan salafi puritan. Dengan demikian, posisi salafi sururiah adalah antara salafi puritan dan salafi jihadi. Repotnya, Muhamamd Surur dan Abdurrahman Abdul Khaliq tidak pernah menggunakan label tambahan untuk gerakan dakwahnya. Mereka tetap menggunakan nama jenerik “Salafi” dalam mengembangkan ajaran-ajarannya. Sehingga, sering kali merepotkan sebagian kalangan untuk memilahkannya. (bersambung)