Situs Resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama NU Online mengaji genealogi keilmuan fiqih ulama Nusantara. Kajian ini melacak jalan panjang transmisi keilmuan fiqih mulai dari pemberian ijazah, kekuatan sanad, penelaahan terhadap penyebaran ilmu fiqih tanpa ijazah, dan pembabakan para fuqaha.
Kajian ini menghadirkan peneliti geneologi ulama Nusantara Maftuchan dari Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Peneliti yang merupakan santri senior di pesantren Gus Dur ini memaparkan secara rinci sanad yang dimiliki ulama di Nusantara.
“Ulama Nusantara menjadi bagian penting dalam dunia kajian keislaman. Mereka umumnya interdisipliner, menguasai lebih dari satu bidang keilmuan,” kata Maftuchan.
Menurutnya, perpindahan keilmuan ulama Nusantara terutama bidang fiqih ke tangan murid mereka dibangun secara ketat. Murid akan mendapat ijazah dari gurunya ketika ia mengaji sebuah kitab dengan khatam kepada kiainya.
Dalam tradisi mereka, ijazah menjadi surat jalan dari seorang kiai terhadap muridnya untuk mengajarkan kembali kitab yang pernah dipelajari muridnya. Tanpa ijazah, murid itu tidak akan berani mengajarkan kitab tersebut.
Ijazah diberikan seorang kiai kepada murid tertentu yang dinilai mampu menjadi guru kelak secara keilmuan maupun kezuhudan. Ijazah dalam tradisi mereka berbeda dengan ijazah sekolah yang bersifat formal sebagai tanda kelulusan tanpa jaminan kemampuan keilmuan.
Kajian geneologi hadir di tengah kajian rutin Thoriqotul Hushul Ala Ghoyatil Wushul, kitab ushul fiqih karya Rais Aam PBNU KH M. Ahmad Sahal Mahfudz di kantor redaksi NU Online, Gedung PBNU, lantai 5, Jakarta Pusat, Kamis (7/11) petang. Thoriqotul Hushul menjelaskan Ghoyatul Wushul, kitab karya Abu Zakaria Al-Anshori.
Sumber: NU Online