Jakarta, NU Online
Masyarakat Baduy yang tinggal di kecamatan Kanekes kabupaten Lebak Provinsi Banten, sejak lama dikenal sebagai masyarakat adat yang tertutup dari jangkauan peradaban luar. Namun seiring bergulirnya waktu beberapa entitas dan komunitas masyarakat Baduy mulai berusaha membuka diri terhadap peradaban dan pengetahuan yang lebih luas.
Salah komunitas yang berusaha membuka diri terhadap pengetahuan yang lebih luas adalah Komunitas Saung Belajar yang terletak di Luwung Titipan, sekitaran kawasan pemukiman Baduy. Komunitas Saung Belajar ini mengajarkan anak-anak Baduy Dalam untuk belajar membaca dan menulis.
Demikian dinyatakan oleh Mang Pulung saat berkunjung ke Kantor Redaksi NU Online, Ahad (14/6). Menurut Mang Pulung, memang ada beberapa kendala terkait proses belajar di Saung yang dibangunnya ini antara lain letaknya yang di luar perkampungan dan adat yang mengikat masyarakat Baduy.
“Dulu pernah ada seorang pengajar yang ditugaskan oleh pemerintah bernama Guru Asid dari Karang Balang, tetapi karena ia sudah pindah ke Gunung Talaga, maka kegiatan belajar jadi terhenti untuk sementara. Anak-anak tidak mau belajarnya pinda karena lokasinya yang jauh dari pemukiman Baduy,” tutur Mang Pulung.
Lebih lanjut Mang Pulung menjelaskan, kendala-kendala dalam proses belajar di saungnya antara lain adalah keterbatasan sarana belajar dan teguran dari kokolot (sesepuh) adat. Termasuk adanya aturan tidak boleh berseragam dan tidak boleh membawa perlengkapan belajar pulang ke rumah.
Lelaki berumur 45 tahun ini bahkan mengaku sempat putus asa dalam mengupayakan Komunitas Saung Belajarnya. “Tapi Alhamdulillah, ada banyak kawan dari luar yang turut membantu menyiapkan perlengkapan dan sara belajar di Saung ini,” tandas ayah dari seorang putri berusia 12 tahun ini.
Masyarakat Baduy tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka.
Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas populasi yang berjumlah sekitar 5.000 hingga 8.000 orang ini tetap tidak dapat membaca atau menulis hingga sekarang. (Alhafiz K)
Sumber: NU Online