Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, memiliki perjalanan historis yang menarik dalam proses turunnya. Mayoritas ulama sepakat bahwa turunnya Al-Qur’an melalui dua fase: nuzulul jumali (turun secara utuh) dan nuzulul mufarraq (turun secara bertahap). Dalam dua fase tersebut terdapat hikmah-hikmah yang mendalam.
Pada fase pertama, Al-Qur’an turun dengan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar. Hal ini menunjukkan keistimewaan dan keagungan Al-Qur’an serta Nabi Muhammad sebagai penutup para rasul. Fase ini juga tidak berkaitan dengan permasalahan hukum, melainkan bertujuan untuk menerangkan kemuliaan Al-Qur’an kepada penduduk langit.
Di sisi lain, fase kedua, yaitu turunnya Al-Qur’an secara bertahap, memberikan beberapa hikmah. Pertama, menguatkan hati Nabi Muhammad dalam menghadapi tantangan dan gangguan dari para musuh. Kedua, melatih kelembutan dan keteguhan hati Nabi agar selaras dengan Al-Qur’an. Ketiga, penerapan hukum secara perlahan agar bisa diterima oleh masyarakat Arab yang masih dalam keadaan jahiliah. Keempat, memudahkan menghafal, memahami, dan menghayati Al-Qur’an. Kelima, menyesuaikan Al-Qur’an dengan peristiwa yang sedang terjadi, sehingga pesannya lebih relevan. Terakhir, menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang sempurna, tanpa cacat atau kekeliruan.
Dengan demikian, dua fase dalam turunnya Al-Qur’an tidak hanya merupakan peristiwa historis, tetapi juga sarat dengan hikmah yang mendalam, menggambarkan kebijaksanaan Allah dalam menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia.
Disadur dari NU Online, Tulisan Muhammad Izharuddin.