Salah satu syarat sah puasa dalam Islam adalah bersuci dari haid dan nifas. Oleh karena itu, bagi wanita yang sedang mengalami haid atau nifas, tidak diizinkan dan tidak sah untuk melakukan puasa. Namun, mereka tetap berkewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan selama masa haid dan nifas.
Jika seorang wanita tidak dapat melakukan qadha puasa dalam satu tahun karena masih menyusui anaknya, dan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya, maka dia tidak diwajibkan untuk membayar fidyah. Hal ini karena kewajiban membayar fidyah hanya dikenakan kepada mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melakukan qadha, namun gagal melakukannya hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Fidyah adalah pembayaran sejumlah makanan pokok sebagai pengganti puasa, yang dikenakan kepada orang yang sudah tua dan tidak mampu berpuasa, atau sebagai kewajiban tambahan bagi mereka yang meninggalkan puasa karena alasan tertentu, seperti ibu hamil yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan janinnya, atau karena menunda qadha puasa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa jika seseorang menunda qadha puasanya dengan alasan tertentu, seperti masih dalam perjalanan, kelupaan, ketidaktahuan yang dapat dimaklumi, atau masih dalam masa menyusui hingga tahun berikutnya, maka tidak ada kewajiban apapun selama alasan tersebut masih berlaku, bahkan jika hal itu berlangsung bertahun-tahun. Namun, jika alasan tersebut telah hilang dengan jelas dalam waktu yang diketahui, maka orang tersebut wajib membayar fidyah.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita yang tidak dapat melakukan qadha puasa Ramadhan karena masih dalam masa menyusui bayinya hingga datangnya Ramadhan berikutnya, tidak diwajibkan untuk membayar fidyah. Hal ini dikarenakan mereka masih dalam keadaan uzur dan belum memiliki kesempatan untuk melakukan qadha. Oleh karena itu, kewajiban mereka hanya melakukan qadha puasa tanpa disertai pembayaran fidyah.
Ibaroh:
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fathul Jawwad menjelaskan sebagai berikut:
وَ) الطَّرِيْقُ الثَّانِي: تَأْخِيْرُ الْقَضَاءِ فَيَجِبُ مَعَهُ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ كَمَا مَرَّ عَلَى حُرٍّ (مُؤَخِّرِ قَضَاءٍ) لِشَيْءٍ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرُ ، هَذَا إِنْ (أَمْكَنَهُ) الْقَضَاءُ فِي تِلْكَ السَّنَةِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فِي التَّأْخِيْرِ لِإِفْتَاءِ سِتَّةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ بِهِ وَلَا مُخَالِفَ لَهُمْ
Artinya, “Jalan kedua yang mewajibkan fidyah adalah menunda qadha puasa. Selain qadha, ia juga harus mengeluarkan satu mud setiap harinya, seperti penjelasan di atas, bagi orang merdeka yang menunda qadha sebagian puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya. Hal ini jika dia mampu mengqadha pada tahun tersebut tanpa ada alasan untuk menundanya, mengingat adanya fatwa enam sahabat mengenai hal tersebut, dan tidak ada seorangpun yang tidak setuju.”
فَإِنْ أَخَّرَهُ بِعُذْرٍ كَأَنِ اسْتَمَرَّ سَفَرُهُ أَوْ نِسْيَانُهُ أَوْ جَهْلُهُ الَّذِي يُعْذَرُ بِهِ أَوْ إِكْرَاهُهُ أَوْ إِرْضَاعُهَا إِلَى قَابِلٍ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ مَا بَقِيَ الْعُذْرُ وَإِنِ اسْتَمَرَّ سِنِيْنَ وَلَوْ كَانَ إِفْطَارُهُ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى الْأَوْجَهِ إِذْ لَا يَلْزَمُ مِنَ الْإِثْمِ الْفِدْيَةُ
Artinya, “Jika dia menundanya dengan suatu alasan, seperti masih dalam perjalanannya, kelupaannya, ketidaktahuannya yang dapat ditolerir, masih dalam paksaannya (untuk tidak puasa), atau dia masih menyusui sampai tahun berikutnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selama alasan itu masih ada, sekalipun itu terus menerus bertahun-tahun, meskipun tidak puasanya dulu tanpa alasan menurut pendapat kuat (al-aujah), karena dosa meninggalkan puasa tidak selalu mengharuskan membayar fidyah.”
وَخَرَجَ بِاسْتَمَرَّ خُلُوُّهُ عَنِ الْعُذْرِ بِقَدْرِ مَا عُلِمَ فَتَلْزَمُهُ الْفِدْيَةُ وَيَتَكَرَّرُ الْمُدُّ بِتَكَرُّرِ الْأَعْوَامِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فَيَجِبُ (لِكُلِّ سَنَةٍ مُدٌّ) لِأَنَّ الْحُقُوْقَ الْمَالِيَةَ لَا تَتَدَاخَلُ
Artinya, “Dikecualikan dari bahasa terus-menerus, jika alasan tidak berpuasanya telah hilang dengan kadar waktu yang telah diketahui, maka ia harus membayar fidyah, dan kewajiban fidyah tersebut diulangi dengan pengulangan tahunnya menurut pendapat yang dijadikan pegangan. Jadi tiap tahun wajib membayar satu mud, karena hak yang bersifat kehartaan tidak saling tumpang tindih (menjadi satu).” (Ahmad Ibnu Hajar Al-Haitami, Fathul Jawwad bisyarhil Irsyad, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2005], juz I, halaman 452).
Disadur dari tulisan Muhammad Zainul Millah, NU Online