Pernikahan adalah momen sakral yang membawa tanggung jawab besar bagi kedua belah pihak. Namun, seringkali tekanan dan gugup saat melangsungkan akad nikah dapat membuat seseorang melakukan kesalahan dalam ungkapan ijab qabul. Dalam hal ini, terdapat beberapa pertimbangan hukum yang perlu dipahami:
1. Kesalahan dalam Ungkapan Qabul
Jika calon suami melakukan kesalahan dalam menyampaikan qabul, seperti salah menyebutkan mahar, hal tersebut tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan. Nikah tetap sah meskipun mahar yang disebutkan tidak sesuai. Namun, yang harus dibayarkan adalah mahar mitsil, yaitu mahar yang sepadan dengan kondisi ekonomi masing-masing pihak.
2. Pentingnya Kandungan Makna Kalimat
Meskipun terdapat perbedaan sedikit antara kalimat yang diucapkan oleh wali dan calon suami, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan selama kandungan makna kalimatnya sama. Kalimat seperti “Saya terima nikahnya”, “saya ridha menikahinya”, atau “saya menikahinya” memiliki hukum yang sah.
3. Dampak dari Diam yang Lama
Diam yang lama antara ijab dan qabul, yang menunjukkan berpaling dari qabul, dapat mempengaruhi keabsahan akad nikah. Namun, dalam hal ini, diam yang lama adalah diam yang melebihi kadar mengambil nafas atau diam sebentar namun dengan niat berpaling dari qabul.
4. Mengulang Akad Nikah
Jika suatu akad nikah telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka akad tersebut sah. Namun, jika ada ketidakpastian atau kesalahan yang signifikan, akad tersebut dapat diulang untuk memastikan keabsahannya. Mengulang akad nikah tidak harus dilakukan di lain hari, namun dapat dilakukan kapanpun jika diperlukan.
5. Pertimbangan Psikologis
Mengulang akad nikah dapat menjadi pilihan jika salah satu atau kedua belah pihak merasa terlalu grogi atau tidak siap saat melangsungkan akad sebelumnya. Kondisi psikologis yang stabil dan siap secara mental dapat memastikan jalannya akad nikah dengan lebih lancar dan mantap.
Dalam menjalani proses pernikahan, penting untuk mengedepankan kesadaran dan kesiapan secara mental serta memahami kewajiban dan tanggung jawab yang melekat dalam ikatan suci tersebut. Dengan demikian, pernikahan dapat dirayakan dengan penuh kebahagiaan dan keberkahan.
Ibaroh
Dalam Kitab Tuhfatul Habib disebutkan:
ولا سكوت طَوِيلٌ وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنْ الْقَبُولِ
قَوْلُهُ: (وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ إلَخْ) الْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ بِقَدْرِ مَا يَقْطَعُ الْقِرَاءَةَ فِي الْفَاتِحَةِ وَهُوَ الزَّائِدُ عَلَى سَكْتَةِ التَّنَفُّسِ، أَوْ الْقَصِيرُ إذَا قَصَدَ بِهِ الْإِعْرَاضَ
Artinya, “Dan (tidak dipisah) diam yang lama, yaitu diam yang menunjukkan berpaling dari qabul.
Ucapan penyusun kitab: “Yaitu diam yang menunjukkan berpaling dari qabul”, pendapat yang menjadi pegangan (versi Syekh Al-Bujairimi) bahwa diam lama itu yang sekira bisa memutus bacaan Fatihah dalam shalat yaitu melebihi kadar mengambil nafas atau diam sebentar namun dengan niat berpaling dari qabul”. (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 13).
Sumber: NU Online