Zakat, sebagai ibadah amaliah, memiliki aturan yang ditetapkan oleh syariat. Salah satu ketentuannya adalah pembayaran kepada delapan golongan (asnafus tsamaniyah) yang disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60. Salah satu golongan tersebut adalah amil. Amil adalah individu yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengumpulkan zakat dari muzakki dan menyalurkannya kepada mustahiq.
Menurut Ibnul Qasim Al-Gazzi dalam Fathul Qarib, amil adalah seseorang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat kepada yang berhak menerima.
Hal yang menjadi perhatian adalah adanya pihak yang mengumpulkan zakat dari muzakki dan menunjuk diri sebagai amil. Bahkan, sebagian dari mereka mengambil zakat atas nama amil dari hasil zakat yang mereka kumpulkan. Praktik semacam ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan.
Mengelola zakat dapat dilakukan oleh siapa saja, baik yang berstatus amil maupun panitia zakat biasa yang dibentuk oleh masyarakat. Namun, karena zakat adalah ibadah, maka mematuhi ketentuan syariat adalah krusial. Penyelewengan terhadap ketentuan syariat dapat menyebabkan zakat menjadi tidak sah bahkan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan harta.
Murtadho Az-Zabidi dalam Ithaf Sadatil Muttaqin menyatakan bahwa menyepelekan aturan zakat tidak memengaruhi pihak penerima zakat, namun dapat memengaruhi status ibadah tersebut.
Pada tahun 2017, Munas dan Konbes NU di NTB menegaskan bahwa panitia zakat yang dibentuk oleh masyarakat tidak termasuk dalam kategori amil yang berhak menerima bagian zakat. Hal ini karena mereka tidak diangkat oleh pihak yang berwenang dalam urusan zakat.
Berdasarkan undang-undang dan peraturan zakat yang berlaku di Indonesia, terdapat tiga lembaga pengelola zakat, yaitu BAZNAS, LAZ, dan Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan yang diakui oleh BAZNAS atau LAZ setempat.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj menjelaskan bahwa menyerahkan zakat kepada pemerintah atau wakil pemerintah cukup dengan niat zakat saat menyerahkannya kepada pemerintah, meskipun pemerintah tidak menetapkan niat saat menyalurkannya kepada mustahiq. Ini berbeda dengan wakil non-pemerintah.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhazab menjelaskan bahwa menyalurkan zakat sendiri lebih baik daripada berwakil, karena menyalurkan sendiri lebih bisa dipercaya. Selama harta belum sampai kepada mustahiq, tanggung jawab zakat belum lepas dari muzakki. Berbeda jika diserahkan kepada imam (pemerintah), gugur kewajiban zakat dari muzakki saat diterima oleh imam.
Kesimpulannya, panitia zakat yang dibentuk oleh masyarakat bukanlah amil zakat. Zakat yang diserahkan kepada panitia zakat belum dianggap sah sebelum disalurkan kepada mustahiq. Praktik menyerahkan zakat kepada amil dianggap sah secara hukum, meskipun belum disalurkan kepada mustahiq. Jika zakat hilang atau rusak di tangan panitia zakat, tanggung jawabnya ada pada muzakki. Berbeda jika hal tersebut terjadi pada amil, zakat tetap dianggap sah. Bagi panitia zakat yang ingin menjadi amil zakat syar’i, dapat mengusulkan untuk diangkat sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Ibaroh
Kitab Fathul Qarib menjelaskan:
وَالْعَامِلُ مَنِ اسْتَعْمَلَهُ الْإِمَامُ عَلَى أَخْذِ الصَّدَقَاتِ وَدَفْعِهَا لِمُسْتَحِقِّيهَا
Kitab Ithaf Sadatil Muttaqin menjelaskan:
وَالتَّسَاهُلُ فِيْهِ غَيْرُ قَادِحٍ فِى حَظِّ الْفَقِيْرِ لَكِنَّهُ قَادِحٌ فىِ التَّعَبُّدِ
Artinya: “Menyepelekan aturan zakat tidak berpengaruh pada bagian si fakir tapi akan berpengaruh pada status ibadahnya (keabsahannya)”. (Murtado Az-Zabidi, Ittihaf Sadatil Muttaqin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016] juz 4 halaman 152)
Kitab Hasyiah At-Termasi menjelaskan sebagai berikut:
قَوْلُهُ وَالْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا أَيْ الزَّكَاةِ يَعْنِى مَنْ نَصَبَهُ الْإِمَامِ فِى أَخْذِ الْعُمَالَةِ مِنَ الزَّكَوَاتِ….إلى أن قال….وَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ عَمِلَ مُتَبَرِّعًا لاَيَسْتَحِقُّ شَيْئًا عَلىَ الْقَاعِدَةِ
Artinya: “Amil zakat ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menarik harta zakat…..Menurut tuntunan redaksi pengarang, sesungguhnya orang yang melaksanakan tugas menarik zakat secara tabarru’ (sukarelawan) maka tidak masuk dalam sebuah kaidah/peraturan di atas” (Muhammad Mahfudz At-Turmusi, Hasyiah At-Termasi, [Jedah, Darul Minhaj: 2011] jilid. Halaman 404)
Kitab Tuhfah al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj menjelaskan:
(وَلَوْ دَفَعَ اِلَى السُّلْطَانِ)
اَوْ نَائِبِهِ كَالسَّاعِى (كَفَتِ النِّيَّةُ عِنْدَهُ) أَيْ عِنْدَ الدَّفْعِ اِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِى السُّلْطَانُ عِنْدَ الصَّرْفِ لِأَنَّهُ نَائِبُ الْمُسْتَحِقِّيْنَ فَالدَّفْعُ اِلَيْهِ كَالدَّفْعِ اِلَيْهِمْ وَلِهَذَا أَجْزَأَتْ وَإِنْ تَلِفَتْ عِنْدَهُ بِخِلَافِ الْوَكِيْلِ
Artinya: “Jika muzakki menyerahkan zakatnya kepada pemerintah atau wakil pemerintah (orang yang diberikan wewenang untuk mengambil zakat), maka cukup niat zakat ketika menyerahkan kepada pemerintah, walaupun pemerintah tidak meniatkan ketika menyalurkan kepada mustahiq, karena pemerintah adalah wakil dari mustahiq, menyerahkan zakat kepadanya sama dengan menyerahkan langsung kepada mustahiq, oleh sebab itu niat dari muzakki memadai (dianggap sah) ketika ia menyerahkan kepada pemerintah, sekalipun zakat itu rusak di tangan pemerintah, lain halnya dengan wakil (bukan pemerintah)”. ( Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2001], jilid I halaman 495)
Kitab Majmu’ Syarah Muhazab menjelaskan:
(الرَّابِعَةُ) فِى بَيَانِ الْأَفْضَلِ: قَالَ أَصْحَابُنَا: تَفْرِيْقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنَ التَّوْكِيْلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيْقِهِ بِخِلاَفِ الْوَكِيْلِ, وَعَلَى تَقْدِيْرِ خِيَانَةِ الْوَكِيْلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنِ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيْدَهُ, فَمَا لَمْ يَصِلِ الْمَالُ اِلَى الْمُسْتَحِقِّيْنَ لاَ تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلاَفِ دَفْعِهَا اِلَى اْلإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكاَةُ عَنِ الْمَالِكِ
Artinya: “Yang ke empat: Menyalurkan zakat sendiri lebih baik daripada berwakil tanpa ada khilaf ulama, karena menyalurkan sendiri lebih bisa dipercaya daripada berwakil, jika wakil berkhianat (tidak menyampaikan zakat) kewajiban itu belum gugur dari muzakki. Selama harta belum sampai kepada mustahiq, tanggung jawab belum lepas dari muzakki. Berbeda jika diserahkan kepada imam (pemerintah), begitu harta itu diterima oleh imam maka gugur kewajiban zakat dari muzakki”. (Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: t.th] jilid 6 halaman 138)
Disadur dari tulisan Muhammad Faizin di NU Online