Data dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menunjukkan bahwa jumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, tercatat 3.964 ABH, yang meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 9.387 ABH pada tahun 2018. Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2019 menjadi 6.963 ABH, namun angka ini kembali naik menjadi 8.914 ABH.
Definisi ABH diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang meliputi anak yang berkonflik dengan hukum sebagai pelaku, korban, atau saksi dalam tindak pidana. Ragam tindak kriminal yang melibatkan ABH termasuk kekerasan fisik, kekerasan seksual, pencurian, kecelakaan lalu lintas, kekerasan psikis, sodomi atau pedofilia, aborsi, dan pembunuhan.
Peningkatan kasus pidana yang melibatkan ABH membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Selain menekan kasus pidana, pemenuhan hak-hak ABH juga harus diperhatikan. Pasal 3 UU SPPA mengamanatkan pemenuhan hak anak berkonflik dengan hukum selama proses hukum, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar, menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar yang harus didapatkan anak, termasuk ABH. Ini sejalan dengan United Nations Convention on the Rights of the Child (KHA) yang menegaskan hak pendidikan bagi semua anak.
Nahar menjelaskan bahwa Pasal 3 UU SPPA mengatur 16 hak yang harus dipenuhi setiap anak dalam proses peradilan pidana, termasuk hak untuk diperlakukan secara manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum, kegiatan rekreasional, bebas dari penyiksaan, tidak dijatuhi hukuman mati, mendapatkan keadilan di muka pengadilan anak, tidak dipublikasikan identitasnya, memperoleh pendampingan, advokasi sosial, kehidupan pribadi, aksesibilitas, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pentingnya pendidikan bagi ABH tidak dapat dipandang sebelah mata, karena pendidikan merupakan landasan bagi mereka untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan kembali ke masyarakat. Kementerian PPPA menegaskan bahwa ABH tidak boleh dipaksa keluar dari sekolah, karena hal ini selain merampas hak pendidikan juga merampas hak untuk hidup dan dapat membahayakan masa depan mereka.
Disadur dari kompas.com