Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi bagi umat Muslim. Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS dan menjalankan serangkaian ritual yang sarat makna. Namun, di balik kesucian dan keagungan ibadah haji, tersembunyi sebuah fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu praktik haji ilegal.
KH Mahbub Maafi Ramdan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), dengan tegas menyatakan bahwa praktik haji ilegal di luar prosedur yang sah, seperti menunaikan manasik haji tanpa visa haji, merupakan tindakan yang bertentangan dengan substansi syariat Islam. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, karena praktik ilegal tersebut justru membahayakan para pelakunya dan juga jamaah haji secara umum.
Kiai Mahbub menjelaskan bahwa kebijakan pengendalian kuota jamaah haji melalui visa haji yang diberlakukan oleh Kerajaan Arab Saudi (KSA) sejalan dengan tujuan utama syariat Islam, yaitu mendatangkan kemaslahatan dan mencegah terjadinya bahaya atau mafsadat. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan kelancaran pelaksanaan ibadah haji, kenyamanan, dan keselamatan seluruh jamaah, serta menjaga kesucian Tanah Suci.
Praktik haji ilegal justru merampas hak-hak jamaah haji yang sah, yang telah memperoleh kuota dan visa haji melalui prosedur yang resmi. Keberadaan mereka “membunuh” ruang gerak jamaah haji lainnya, menyebabkan kepadatan yang tidak terkendali, dan menghambat kelancaran pelaksanaan ibadah.
Lebih lanjut, Kiai Mahbub memaparkan berbagai mafsadat yang ditimbulkan oleh praktik haji ilegal. Jamaah haji ilegal rentan mengalami berbagai kesulitan dan bahaya, seperti:
- Darurat layanan kamar kecil: Fasilitas yang terbatas dan padatnya jamaah membuat akses ke kamar kecil menjadi sulit.
- Serangan cuaca panas: Jamaah ilegal seringkali tidak mendapatkan tenda di Arafah, sehingga rentan terkena sengatan matahari dan dehidrasi.
- Kepadatan jamaah yang tidak terkendali: Titik-titik kritis area haji, seperti terowongan Mina, area tawaf, dan sai, menjadi sangat padat, meningkatkan risiko desak-desakan dan kecelakaan.
- Keterbatasan oksigen: Kepadatan yang ekstrem dapat menyebabkan kekurangan oksigen, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit pernapasan.
- Kemacetan lalu lintas: Arus lalu lintas di area haji menjadi macet parah, menghambat pergerakan jamaah dan akses layanan darurat.
- Ketidaktenangan: Rasa takut tertangkap razia aparat otoritas KSA selalu menghantui jamaah ilegal, membuat mereka tidak dapat fokus beribadah.
Praktik haji ilegal, menurut Kiai Mahbub, jelas bertentangan dengan substansi syariat Islam. Melaksanakan ibadah haji tanpa mengikuti prosedur formal yang telah ditetapkan merupakan tindakan ghashab atau perampasan hak yang diharamkan oleh syariat. Jamaah haji ilegal merampas hak jamaah lain yang telah memperoleh kuota dan visa melalui prosedur yang sah, dan juga membahayakan diri mereka sendiri serta jamaah haji lainnya.
Kiai Mahbub mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghargai dan mematuhi prosedur formal serta regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah KSA dan pemerintah Indonesia. Melaksanakan ibadah haji dengan tertib dan prosedural dapat meminimalkan risiko bahaya dan memaksimalkan kemaslahatan, sehingga rangkaian manasik haji dapat terselenggara dengan baik, layak, dan nyaman.
Kesimpulannya, praktik haji ilegal bukanlah tindakan yang dibenarkan dalam Islam. Selain melanggar aturan dan membahayakan diri sendiri, praktik ini juga merugikan jamaah haji lainnya dan menghambat kelancaran pelaksanaan ibadah haji. Mari kita jaga kesucian dan keagungan ibadah haji dengan mematuhi prosedur dan regulasi yang berlaku, serta memprioritaskan keselamatan dan kenyamanan seluruh jamaah.
Disadur dan ditulis ulang dari NU Online