
Selama beberapa dekade, baterai lithium-ion telah mendominasi penyimpanan energi, menggerakkan segala sesuatu mulai dari ponsel pintar hingga kendaraan listrik (EV). Namun, muncul penantang—yang dapat mengubah masa depan baterai tanpa bergantung pada material langka, mahal, atau sarat masalah geopolitik.
Teknologi baterai natrium-ion, yang dulunya dianggap lebih rendah karena kepadatan energinya yang lebih rendah, kini mendapatkan daya tarik serius, dengan pemain besar seperti CATL, BYD, dan Natron Energy bertaruh besar pada potensinya. Produsen baterai terbesar di dunia, CATL, bahkan memprediksi bahwa natrium dapat merebut hingga 50% pasar dalam beberapa tahun mendatang. Jadi, mengapa lonjakan minat yang tiba-tiba ini?
Jawabannya terletak pada tiga faktor utama: biaya, keberlanjutan, dan stabilitas rantai pasokan.
Tidak seperti lithium, yang membutuhkan penambangan ekstensif dan menghadapi risiko geopolitik (sebagian besar berasal dari Tiongkok, Australia, dan Amerika Selatan), natrium 1.000 kali lebih melimpah—secara harfiah diekstraksi dari garam (NaCl). Hal ini membuatnya jauh lebih murah dan lebih mudah didapatkan, dengan lebih sedikit masalah lingkungan dan etika. Namun, terobosan sesungguhnya terletak pada kemajuan terkini dalam kepadatan energi. Sementara baterai natrium-ion (SIB) generasi awal kesulitan untuk bersaing dengan ~300 Wh/kg milik lithium, SIB generasi kedua CATL kini mencapai 200 Wh/kg, memperkecil kesenjangan secara signifikan. BYD, produsen baterai terbesar kedua, juga terus maju, membangun pabrik baterai natrium berkapasitas 30 GWh/tahun yang dijadwalkan dibuka pada tahun 2027. Sementara itu, Natron Energy yang berbasis di AS mengambil pendekatan yang berbeda, berfokus pada pengisian daya ultra-cepat (mengklaim 10 kali lebih cepat dari lithium-ion) dan masa pakai 50.000 siklus yang luar biasa—ideal untuk aplikasi seperti pusat data dan daya cadangan telekomunikasi.
Keunggulan baterai natrium-ion tidak hanya sebatas biaya dan kelimpahan. Baterai ini juga lebih aman, dengan risiko thermal runaway (kebakaran) yang jauh lebih rendah, dan berkinerja lebih baik dalam suhu ekstrem dingin, berfungsi dengan andal pada suhu serendah -40°C (-40°F), di mana baterai lithium mulai gagal. Sifat-sifat ini menjadikannya sangat menarik untuk penyimpanan jaringan listrik, di mana keamanan dan umur panjang sangat penting, dan untuk kendaraan listrik di iklim dingin. Faktanya, CATL telah menawarkan paket baterai hibrida yang menggabungkan lithium dan natrium, mengoptimalkan jangkauan dan kinerja cuaca dingin. BYD bahkan telah memperkenalkan EV bertenaga natrium pertamanya, Seagull, di Tiongkok—sebuah pertanda bahwa teknologi ini bergerak melampaui teori dan menuju penggunaan di dunia nyata.
Namun, baterai natrium-ion bukannya tanpa tantangan. Kendala terbesar tetap pada kepadatan energi—bahkan SIB terbaik pun masih tertinggal dari lithium, membuatnya kurang cocok untuk EV berperforma tinggi atau aplikasi kedirgantaraan di mana bobot menjadi perhatian utama. Ada juga masalah penetapan waktu pasar: harga lithium telah merosot 70% sejak tahun 2022 karena kelebihan pasokan, melemahkan keunggulan biaya langsung dari natrium. Dan meskipun baterai natrium secara teoritis lebih murah untuk diproduksi, mereka belum mencapai skala ekonomi yang dinikmati lithium, yang berarti harga per kilowatt-jamnya masih lebih tinggi dalam banyak kasus.
Terlepas dari kendala-kendala ini, momentum di balik baterai natrium-ion tidak dapat disangkal. Para peneliti telah mengeksplorasi inovasi generasi berikutnya, seperti katoda organik (seperti senyawa TAQ dari MIT) yang sepenuhnya menghilangkan kebutuhan akan logam langka, yang semakin menurunkan biaya. Beberapa perusahaan bahkan sedang mengerjakan baterai natrium solid-state, yang dapat mendorong kepadatan energi mendekati level lithium. Pertanyaannya bukanlah apakah natrium akan menggantikan lithium—tidak akan, setidaknya tidak sepenuhnya—tetapi di mana ia akan mengukir ceruknya. Untuk penyimpanan energi massal, EV berbiaya rendah, dan aplikasi di mana keamanan dan ketahanan suhu lebih penting daripada kepadatan energi mentah, baterai natrium-ion dapat menjadi pilihan yang dominan.
Jadi, ke mana arah masa depan penyimpanan energi? Lithium tidak akan hilang dalam waktu dekat, terutama untuk kebutuhan performa tinggi. Tetapi baterai natrium-ion bukan lagi sekadar eksperimen laboratorium atau rencana cadangan—mereka adalah alternatif yang layak dan dapat ditingkatkan dengan penerapan di dunia nyata yang sedang berlangsung. Seiring dengan peningkatan skala produksi dan peningkatan teknologi, kita dapat melihat natrium mengklaim pangsa pasar baterai yang signifikan dalam dekade mendatang. Persaingannya bukan tentang lithium vs. natrium; ini tentang menemukan alat yang tepat untuk pekerjaan yang tepat. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, industri baterai akhirnya memiliki pesaing yang serius.