
Hari itu, 10 April 2025, dunia hiburan Indonesia kehilangan salah satu bintangnya yang paling bersinar. Titiek Puspa, penyanyi legendaris yang telah menghibur jutaan hati dengan suara emasnya, menghembuskan napas terakhir di usia 87 tahun. Kabar duka ini pertama kali mencuat dari Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, tempat ia menjalani perawatan intensif sebelum wafat. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, sahabat, dan penggemar yang selama puluhan tahun mengagumi karya dan perjalanan hidupnya.
Kabar meninggalnya Titiek Puspa dengan cepat menyebar, salah satunya melalui unggahan pedangdut Inul Daratista di Instagram. Dalam postingannya, Inul menuliskan, “Innalillahi wa’inna ilaihi rojiun, selamat jalan eyang, 10 April 2025 tepat pukul 16.25 WIB.” Bersama kata-kata penuh haru itu, ia mengunggah foto kenangan bersama Titiek Puspa, sosok yang ia gambarkan sebagai inspirasi besar, penuh hormat, dan dicintai banyak orang. Tak heran, unggahan tersebut langsung dibanjiri ucapan belasungkawa dari warganet yang turut merasakan kehilangan.
Dari Tanjung ke Panggung Gemerlap
Titiek Puspa lahir dengan nama Sudarwati pada 1 November 1937 di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan. Darah Jawa mengalir dalam dirinya sebagai putri dari Tugeno Puspowidjojo dan Siti Mariam. Nama kecilnya sempat berganti menjadi Kadarwati, lalu Sumarti, sebelum akhirnya ia dikenal luas sebagai Titiek Puspa—nama yang kini melegenda.
Sebagai anak kampung, Titiek kecil bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak. Namun, takdir membawanya ke jalur yang jauh berbeda. Bakat menyanyinya mulai terlihat ketika ia memenangkan berbagai kompetisi lokal. Meski sempat ditentang orang tua, ia nekat mengikuti lomba menyanyi tanpa sepengetahuan mereka. Untuk menyamarkan identitasnya, seorang teman menyarankan nama panggung “Titiek Puspo”—gabungan dari nama panggilan sehari-hari “Titiek” dan “Puspo” yang terinspirasi dari nama ayahnya. Sumarti pun menerjemahkan “Puspo” menjadi “Puspa,” dan sejak itu, nama Titiek Puspa lahir, menjadi identitas yang tak terpisahkan dari kariernya.
Awal Karier: Dari Semarang ke Layar Kaca

Langkah pertama Titiek di dunia hiburan dimulai di Semarang, saat ia mengikuti kontes Bintang Radio. Suaranya yang merdu segera menarik perhatian, membukakan pintu menuju karier profesional. Ia kemudian membentuk orkes pengiring bernama “Puspa Sari,” yang dipimpinnya sendiri di awal perjalanan musiknya. Tak hanya bernyanyi, Titiek juga menjajal dunia akting melalui operet bersama grup Papiko. Karya-karyanya seperti Bawang Merah Bawang Putih, Ketupat Lebaran, Kartini Manusiawi, dan Ronce-Ronce pernah menjadi tontonan favorit pemirsa TVRI pada masanya.
Rekaman piringan hitam pertamanya dirilis bersama label Gembira, berisi lagu-lagu seperti Di Sudut Bibirmu, Esok Malam Kau Kujelang, dan duet bersama Tuty Daulay dalam Indada Siririton. Musiknya diiringi oleh Empat Sekawan Sariman, menandai debutnya yang manis di industri musik Indonesia.
Pada pertengahan 1960-an, Titiek menjadi penyanyi tetap Orkes Studio Jakarta. Di sana, ia banyak belajar dari Iskandar, pencipta lagu sekaligus pemimpin orkes, serta Zainal Ardi, suaminya yang juga penyiar Radio Republik Indonesia Jakarta. Popularitasnya kian menanjak, meski saat itu lagu-lagu yang ia bawakan kebanyakan diciptakan oleh orang lain seperti Iskandar, Mus Mualim, dan Wedasmara.
Puncak Kreativitas: “Si Hitam” dan “Doa Ibu”
Titiek mulai menunjukkan kejeniusannya sebagai pencipta lagu pada 1963 melalui album Si Hitam dan Pita. Masing-masing album berisi 12 lagu yang seluruhnya ditulisnya sendiri, termasuk hits seperti Si Hitam, Tinggalkan, dan Aku dan Asmara. Tak lama setelah itu, album Doa Ibu dirilis, menghadirkan 11 lagu ciptaannya dan satu lagu dari Mus Mualim. Lagu-lagu seperti Minah Gadis Dusun dan Pantang Mundur dari album ini semakin mengukuhkan namanya sebagai salah satu penyanyi sekaligus pencipta lagu terbaik Indonesia.
Keputusannya meninggalkan Orkes Studio Jakarta pada 1962 menjadi titik balik kariernya. Nama panggung “Titiek Puspa” bahkan konon dipilih langsung oleh Presiden Soekarno pada era 1950-an, menambah warna pada kisah hidupnya yang penuh liku.
Warisan Abadi
Titiek Puspa bukan sekadar penyanyi; ia adalah simbol keteguhan dan kreativitas. Dari panggung sederhana di Semarang hingga menjadi ikon musik Indonesia, perjalanannya menginspirasi banyak generasi. Kini, saat ia berpulang, lagu-lagu seperti Kupu-Kupu Malam dan Doa Ibu akan terus hidup, mengingatkan kita pada sosok yang pernah menyentuh hati bangsa dengan suara dan karyanya. Selamat jalan, Titiek Puspa—warisanmu abadi dalam nada dan kenangan.
