
Di dunia penelitian Perjanjian Baru, surat-surat yang dikaitkan dengan Rasul Paulus telah lama menjadi pusat perhatian para sarjana. Dalam sebuah wawancara di Myth Vision Podcast, Dr. Nenah E. Livsy, seorang profesor studi agama, memaparkan pandangan baru yang menantang anggapan tradisional tentang keaslian tujuh surat Paulus yang dianggap autentik: Roma, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Filipi, 1 Tesalonika, dan Filemon. Dalam bukunya, The Letters of Paul in Their Roman Literary Context, Livsy mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali narasi sejarah yang telah diterima secara luas. Perjalanan intelektualnya dari seorang yang mempercayai keaslian surat-surat ini hingga menjadi seorang skeptis menawarkan wawasan mendalam tentang kompleksitas teks-teks kuno ini.
Livsy memulai perubahan pemikirannya pada tahun 2018, setelah mendalami retorika kuno dalam penelitiannya tentang surat Galatia. Ia menemukan bahwa teknik retorika kuno bukan sekadar hiasan, melainkan alat yang digunakan untuk menciptakan narasi dan karakter yang persuasif. Salah satu teknik yang menarik perhatiannya adalah prosopopoeia, atau “pidato dalam karakter,” di mana penulis menciptakan suara untuk karakter tertentu, baik fiktif maupun faktual. Penemuan ini membuatnya mempertanyakan apakah surat-surat Paulus benar-benar merupakan korespondensi autentik atau justru karya retoris yang dirancang untuk tujuan literatur dan teologis tertentu. Pertanyaan ini menjadi titik awal bagi penelitiannya yang lebih luas tentang konteks literatur Romawi.
Sejarah penelitian surat-surat Paulus menunjukkan adanya pengaruh kuat dari para sarjana abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti F.C. Baur dan Adolf Deissmann. Baur, misalnya, hanya menganggap empat surat—Roma, 1 dan 2 Korintus, dan Galatia—sebagai autentik, berdasarkan pandangan teologisnya tentang perkembangan Kristen yang menggantikan Yudaisme. Sementara itu, Deissmann memandang semua surat Paulus sebagai korespondensi asli, mencerminkan romantisme tentang asal-usul Kristen yang murni dan sederhana. Namun, Livsy menunjukkan bahwa pendekatan ini sering kali bersifat sirkular, di mana asumsi teologis modern diproyeksikan kembali ke teks abad pertama, sehingga mengaburkan pemahaman yang lebih objektif tentang asal-usul surat-surat tersebut.
Para sarjana radikal Belanda, seperti Bruno Bauer dan Abraham Loman, mengambil langkah lebih jauh dengan menolak keaslian seluruh surat Paulus, menganggapnya sebagai pseudepigrapha atau karya yang ditulis atas nama Paulus di kemudian hari. Mereka berpendapat bahwa tingkat refleksi teologis yang tinggi dalam surat-surat ini menunjukkan bahwa surat-surat tersebut kemungkinan besar ditulis setelah narasi Injil dan Kisah Para Rasul, bukan sebelumnya seperti yang diyakini tradisi. Pandangan ini, meskipun kontroversial, memengaruhi pemikiran Livsy, yang mulai melihat kemungkinan bahwa surat-surat Paulus merupakan produk abad kedua, mungkin terkait dengan sekolah Marcion, seorang tokoh Kristen awal yang dikenal karena koleksi surat Paulusnya.
Livsy juga membandingkan surat-surat Paulus dengan koleksi surat fiktif kuno, seperti Moral Epistles karya Seneca, yang ditujukan kepada penerima fiktif bernama Lucilius. Dalam analisisnya, ia menemukan bahwa surat-surat Paulus memiliki karakteristik serupa dengan genre koleksi surat pseudonim, yang populer pada masa Sofistik Kedua (abad pertama hingga kedua Masehi). Koleksi ini sering kali menggunakan nama tokoh terkenal untuk memperluas karakterisasi mereka dalam arah baru, tanpa niat untuk menipu secara serius. Misalnya, referensi tentang aktivitas penulisan surat dalam surat Paulus, seperti menyebutkan pengiriman surat lain, mencerminkan teknik literatur untuk menciptakan kesan autentisitas bagi pembaca yang cerdas.
Salah satu tantangan utama dalam mempertahankan keaslian surat-surat Paulus adalah kurangnya bukti eksternal yang kuat. Banyak sarjana mengandalkan penyebutan awal surat-surat ini dalam dokumen seperti 2 Petrus, surat Polycarp kepada jemaat Filipi, surat-surat Ignasian, dan 1 Klemens, yang secara tradisional diberi tanggal akhir abad pertama hingga awal abad kedua. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa dokumen-dokumen ini mungkin berasal dari periode yang lebih lambat, sehingga melemahkan argumen bahwa koleksi surat Paulus sudah ada sekitar tahun 100 Masehi. Livsy menyoroti bahwa bukti paling awal yang dapat dipercaya berasal dari koleksi Marcion sekitar pertengahan abad kedua, yang menunjukkan bahwa surat-surat ini mungkin baru muncul pada masa itu.
Pertanyaan tentang teologi Paulus dalam konteks ini menjadi semakin rumit. Jika surat-surat ini adalah ciptaan abad kedua, bagaimana kita memahami pandangan teologisnya, terutama dalam kaitannya dengan Yudaisme? Banyak sarjana modern berpendapat bahwa Paulus tetap beroperasi dalam kerangka Yudaisme, namun pandangan Livsy menantang asumsi ini dengan menunjukkan bahwa surat-surat kanonik mungkin telah diedit untuk mencerminkan teologi yang berbeda dari koleksi awal Marcion. Meskipun sulit untuk m, tanpa bukti langsung tentang antitesis Marcion, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk merekonstruksi teologi spesifiknya. Dengan demikian, karya Livsy tidak hanya menantang keaslian historis Paulus, tetapi juga membuka jalan bagi pemahaman baru tentang bagaimana surat-surat ini berkontribusi pada pembentukan identitas Kristen awal, mungkin sebagai respons terhadap narasi dalam Kisah Para Rasul dan Injil.
Sumber: Mythvision Podcast