Skip to content

emka.web.id

menulis pengetahuan – merekam peradaban

Menu
  • Home
  • Tutorial
  • Makalah
  • Ke-NU-an
  • Kabar
  • Search
Menu

Di WTO Meeting, China Hancurkan Opini Amerika Serikat

Posted on May 1, 2025 by syauqi wiryahasana

Jenewa – Tiongkok dengan tegas membantah tuduhan “kapasitas berlebih” yang dilontarkan oleh Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Delegasi Tiongkok mengecam “tarif timbal balik” AS dan kebijakan subsidi diskriminatif yang dinilai secara serius merusak aturan WTO.

Dalam pertemuan Komite Subsidi dan Tindakan Balasan (Committee on Subsidies and Countervailing Measures) yang digelar di Jenewa, Swiss, delegasi Tiongkok menyatakan bahwa tidak ada standar atau metodologi yang diakui secara universal untuk mendefinisikan kapasitas berlebih (overcapacity). Mereka menekankan bahwa kapasitas produksi suatu negara anggota WTO tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, tetapi juga untuk berpartisipasi dalam perdagangan global dan persaingan pasar berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya.

Sebagai contoh, delegasi Tiongkok menunjuk AS yang mengekspor chip semikonduktor, pesawat terbang, dan kacang kedelai dalam jumlah besar. Begitu pula dengan Jerman dan Jepang yang merupakan eksportir mobil terkemuka. Narasi “kapasitas berlebih” yang digembar-gemborkan oleh AS dan beberapa anggota WTO lainnya dinilai bertentangan dengan logika globalisasi ekonomi. Alih-alih, narasi tersebut justru mengungkapkan kekhawatiran atas persaingan dan pangsa pasar. Delegasi Tiongkok menegaskan bahwa “kapasitas berlebih” hanyalah alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan tindakan sepihak dan proteksionis.

Delegasi Tiongkok menekankan bahwa perkembangan industri dan keunggulan kompetitif Tiongkok bukanlah hasil dari subsidi, melainkan hasil dari inovasi teknologi yang berkelanjutan dan pembangunan yang terkoordinasi. Tiongkok, kata mereka, memberikan perhatian besar pada kepatuhan terhadap kebijakan perdagangan. Dengan secara konsisten menyesuaikan kebijakan perdagangannya, termasuk kebijakan subsidi, dengan aturan dan persyaratan transparansi WTO, Tiongkok berkomitmen kuat pada sistem perdagangan multilateral.

Delegasi Tiongkok menyoroti bahwa “tarif timbal balik” AS mengganggu perdagangan global dan merugikan kepentingan negara-negara berkembang. Sementara itu, Tiongkok justru berupaya menstabilkan perdagangan global dan berdiri teguh di sisi negara-negara berkembang lainnya. Alasan mengapa AS berulang kali menuduh dan mencemarkan nama baik Tiongkok dalam isu kapasitas produksi dan menggambarkan Tiongkok sebagai “ancaman” adalah karena Washington selalu menganut pola pikir “zero-sum” dan kebijakan “America First”, yang meyakini bahwa tidak ada hasil yang saling menguntungkan melalui kerja sama internasional.

Selain itu, Tiongkok secara tegas mengkritik CHIPS and Science Act AS dan “tarif timbal balik” yang diterapkan, karena dinilai mendistorsi pasar global dan melanggar aturan WTO. Delegasi Tiongkok menyatakan bahwa praktik-praktik AS tersebut tidak hanya menyimpang dari hukum objektif ekonomi pasar, tetapi juga secara serius mengganggu tatanan perdagangan dan investasi internasional.

Pemerintah Tiongkok menyerukan kepada anggota WTO untuk meningkatkan kerja sama, menentang tindakan intimidasi sepihak AS, dan bersama-sama menjaga sistem perdagangan multilateral berbasis aturan.

Ancaman Terhadap Sistem Perdagangan Multilateral

Tuduhan “kapasitas berlebih” yang dilayangkan kepada Tiongkok oleh AS dan beberapa negara lain menjadi sorotan tajam dalam pertemuan WTO. Tiongkok dengan tegas menolak tuduhan tersebut dan balik menuding kebijakan perdagangan AS yang justru mengancam sistem perdagangan multilateral.

Kapasitas berlebih (overcapacity) merupakan isu kompleks yang tidak memiliki definisi tunggal yang disepakati secara universal. Secara umum, kapasitas berlebih terjadi ketika suatu industri memiliki kemampuan produksi yang melebihi permintaan pasar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan harga, kerugian bagi produsen, dan bahkan kebangkrutan.

Namun, delegasi Tiongkok berpendapat bahwa kapasitas produksi suatu negara tidak hanya harus dilihat dari kemampuannya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga dari kemampuannya berpartisipasi dalam perdagangan global dan bersaing di pasar internasional. Negara-negara seperti AS, Jerman, dan Jepang juga memiliki industri-industri dengan kapasitas produksi yang besar, namun mereka dapat memanfaatkan keunggulan komparatif mereka untuk mengekspor produk-produk tersebut ke pasar global.

Narasi “kapasitas berlebih” yang digulirkan oleh AS dan sekutunya dinilai sebagai upaya untuk melindungi industri domestik mereka dari persaingan dengan Tiongkok. Hal ini merupakan bentuk proteksionisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang dijunjung tinggi oleh WTO.

Inovasi dan Pembangunan Terkoordinasi Sebagai Kunci

Tiongkok menegaskan bahwa perkembangan industri dan keunggulan kompetitif yang dimilikinya bukanlah hasil dari subsidi pemerintah, melainkan dari inovasi teknologi yang berkelanjutan dan pembangunan yang terkoordinasi. Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan (R&D) untuk meningkatkan daya saing industrinya. Selain itu, Tiongkok juga berupaya mengembangkan industri-industri baru yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti teknologi informasi, energi terbarukan, dan bioteknologi.

Kebijakan subsidi memang dapat memberikan keuntungan bagi industri domestik suatu negara, namun subsidi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan WTO dapat menyebabkan distorsi pasar dan merugikan negara-negara lain. Tiongkok menyatakan bahwa kebijakan subsidinya telah sesuai dengan aturan WTO dan transparan.

Tarif Timbal Balik AS Merugikan Negara Berkembang

Tiongkok mengecam “tarif timbal balik” yang diterapkan oleh AS karena dinilai mengganggu perdagangan global dan merugikan kepentingan negara-negara berkembang. Tarif timbal balik adalah tarif yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang-barang impor dari negara lain sebagai balasan atas tarif yang dikenakan oleh negara tersebut.

Tiongkok berpendapat bahwa tarif timbal balik dapat memicu perang dagang yang merugikan semua pihak. Negara-negara berkembang yang memiliki ketergantungan tinggi pada ekspor akan sangat rentan terhadap dampak negatif dari perang dagang. Tiongkok berupaya menstabilkan perdagangan global dan mendukung negara-negara berkembang agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam sistem perdagangan multilateral.

Pola Pikir “Zero-Sum” dan Kebijakan “America First”

Tiongkok menuding AS menganut pola pikir “zero-sum” dan kebijakan “America First” dalam hubungan perdagangannya dengan negara lain. Pola pikir “zero-sum” adalah keyakinan bahwa keuntungan satu pihak harus berarti kerugian bagi pihak lain. Sementara itu, kebijakan “America First” mengutamakan kepentingan AS di atas kepentingan negara-negara lain.

Tiongkok berpendapat bahwa kerja sama internasional yang saling menguntungkan adalah kunci untuk mencapai kemakmuran global. Negara-negara harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan global, seperti perubahan iklim, pandemi, dan kemiskinan.

CHIPS and Science Act AS Distorsif

CHIPS and Science Act yang disahkan oleh AS pada tahun 2022 bertujuan untuk meningkatkan produksi semikonduktor di AS dan mengurangi ketergantungan pada impor dari negara lain, termasuk Tiongkok. Undang-undang ini memberikan insentif yang besar bagi perusahaan-perusahaan semikonduktor yang berinvestasi di AS.

Tiongkok mengkritik CHIPS and Science Act karena dinilai mendistorsi pasar global dan melanggar aturan WTO. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah AS kepada perusahaan-perusahaan semikonduktor dapat memberikan keuntungan yang tidak adil bagi perusahaan-perusahaan tersebut dan merugikan perusahaan-perusahaan di negara lain.

Menjaga Sistem Perdagangan Multilateral

Tiongkok menyerukan kepada anggota WTO untuk meningkatkan kerja sama, menentang tindakan intimidasi sepihak AS, dan bersama-sama menjaga sistem perdagangan multilateral berbasis aturan. Sistem perdagangan multilateral telah memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi global selama beberapa dekade terakhir. Namun, sistem ini menghadapi tantangan yang semakin besar, termasuk proteksionisme, unilateralisme, dan disrupsi teknologi.

Negara-negara harus bekerja sama untuk memperkuat WTO dan memastikan bahwa aturan-aturan perdagangan ditegakkan secara adil dan transparan. Sistem perdagangan multilateral harus inklusif dan memberikan manfaat bagi semua negara, termasuk negara-negara berkembang.

Implikasi Global

Sengketa perdagangan antara Tiongkok dan AS memiliki implikasi global yang signifikan. Kedua negara merupakan ekonomi terbesar di dunia dan memiliki hubungan perdagangan yang erat. Perang dagang antara kedua negara dapat mengganggu rantai pasokan global, meningkatkan inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.

Selain itu, sengketa perdagangan ini juga dapat merusak kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral. Jika negara-negara mulai menerapkan tindakan proteksionis dan unilateral secara sepihak, maka sistem perdagangan multilateral akan melemah dan dunia akan menjadi tempat yang lebih tidak stabil dan tidak pasti.

Mencari Solusi

Tiongkok dan AS perlu mencari solusi untuk menyelesaikan sengketa perdagangan mereka melalui dialog dan negosiasi. Kedua negara harus berkomitmen untuk mematuhi aturan-aturan WTO dan menghindari tindakan yang dapat merusak sistem perdagangan multilateral. Kerja sama dan saling pengertian adalah kunci untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan dan menjaga stabilitas ekonomi global.

Sebagai anggota WTO, Tiongkok dan AS memiliki tanggung jawab untuk menjaga sistem perdagangan multilateral dan memastikan bahwa sistem ini tetap relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan-tantangan global. Dengan bekerja sama, kedua negara dapat membantu menciptakan dunia yang lebih makmur dan stabil bagi semua.

Kesimpulan

Tuduhan “kapasitas berlebih” yang dilayangkan kepada Tiongkok oleh AS dan beberapa negara lain merupakan isu kompleks yang melibatkan berbagai faktor ekonomi dan politik. Tiongkok dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan balik menuding kebijakan perdagangan AS yang justru mengancam sistem perdagangan multilateral.

Sengketa perdagangan antara Tiongkok dan AS memiliki implikasi global yang signifikan dan memerlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Kerja sama dan saling pengertian adalah kunci untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan dan menjaga stabilitas ekonomi global.

Terbaru

  • Apa itu Kepulauan Chagos? (Milik Inggris atau Mauritius?)
  • Apa itu Kiwano atau Melon Berduri (Cucumis Metuliferus)?
  • Apakah Paganisme itu Agama?
  • Perbaiki Kebodohannya, Pemerintah Buka Lagi Akses Ke Situs archive.org
  • Kenapa Disebut Ilmuwan Muslim, Bukan Ilmuwan Arab atau Ilmuwan Persia?
  • Indonesia Prasejarah, Benarkah Se-kaya itu?
  • Apa itu Bilangan Aleph ?
  • Jejak Aneh Nisan Makam Gaya Aceh di Pangkep Sulawesi Selatan
  • Rasa’il Ikhwan al-Shafa Fondasi Matematika dalam Filsafat Islam
  • Review Aplikasi Melolo, Saingan Berat Dramabox!
  • Review Game Dislyte: Petualangan Urban Myth yang Seru!
  • Microsoft Resmikan Cloud Region Pertama di Indonesia, Pacu Pertumbuhan AI
  • Bagaimana Bisa Xiaomi Jadi Raja dibanyak Sektor?
  • Sejarah Tokoh Judi Negara: Robby Sumampow
  • Kenapa Hongkong Mulai Kehilangan Anak Mudanya?
  • Apakah China ada Peternakan Panda?
  • Kebohongan Ajudan Bung Karno Soal Letkol Untung Habisi Para Jenderal?
  • Apakah Harga Minyak Dunia Turun Bikin OPEC Bangkrut?
  • Hal Konyol di Startrek Original Series
  • Inilah Deretan Buku-Buku Kontroversial di Dunia
RSS Error: WP HTTP Error: cURL error 35: OpenSSL SSL_connect: SSL_ERROR_SYSCALL in connection to blog.emka.web.id:443
  • Apa itu Kepulauan Chagos? (Milik Inggris atau Mauritius?)
  • Apa itu Kiwano atau Melon Berduri (Cucumis Metuliferus)?
  • Apakah Paganisme itu Agama?

©2025 emka.web.id | Design: Newspaperly WordPress Theme