
Pernahkah Anda memandang peta dunia dan bertanya-tanya mengapa perbatasan negara-negara di Afrika tampak seperti garis lurus yang tidak mengikuti fitur alam? Mengapa negara-negara di Timur Tengah sering terbagi begitu tajam seolah dipotong dengan penggaris? Jawabannya bukan terletak pada geografi, melainkan pada sejarah, khususnya sejarah kolonialisme. Perbatasan negara-negara di Afrika, misalnya, dibagi hanya dengan penggaris di meja konferensi oleh para kolonialis. Pembagian ini tidak hanya membentuk peta dunia modern, tetapi juga meninggalkan warisan yang masih memengaruhi politik global hingga saat ini.
Sebelum abad ke-15, peta dunia sangat berbeda dari yang kita kenal sekarang. Negara-negara dalam pengertian modern belum terbentuk. Yang ada hanyalah kerajaan, kesultanan, suku, dan konfederasi. Perbatasan mereka bersifat fleksibel, tidak digambar dengan jelas di peta, dan lebih sering ditentukan oleh kekuatan politik, budaya, atau geografi alam seperti sungai dan gunung. Di Afrika, misalnya, terdapat kerajaan-kerajaan besar seperti Mali, Songhai, Ethiopia, dan Benin. Di Asia, ada kerajaan seperti Majapahit, Mughal, Ottoman, dan Dinasti Ming. Peta dunia saat itu masih berupa sketsa kasar, dengan banyak wilayah yang belum dijelajahi atau dikenal oleh orang Eropa.
Semuanya berubah ketika Eropa memasuki era eksplorasi pada abad ke-15. Dimulai oleh Portugis dan Spanyol, kemudian diikuti oleh Inggris, Prancis, dan Belanda, mereka menjelajahi dunia, berdagang, dan akhirnya menjajah. Di Afrika dan Asia, mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga mendirikan kekuatan politik dan militer. Pada abad ke-19, kolonialisme mencapai puncaknya. Hampir seluruh benua Afrika dikuasai oleh negara-negara Eropa. Momen penting terjadi pada tahun 1884 di Konferensi Berlin, ketika negara-negara Eropa berkumpul untuk secara resmi membagi Afrika tanpa berkonsultasi dengan penduduk asli. Garis perbatasan yang ditarik di peta sering kali memotong wilayah etnis, suku, dan bahkan kerajaan yang telah ada selama ratusan tahun.
Pembagian ini menjadi cikal bakal bentuk negara modern yang kita kenal sekarang. Di Afrika, perbatasan negara sering kali mengikuti garis lintang dan bujur, bukan batas budaya atau geografi alam. Negara-negara seperti Libya, Chad, dan Sudan memiliki perbatasan yang hampir sempurna lurus karena ditentukan secara politis oleh kolonialis. Di Timur Tengah, Perjanjian Sykes-Picot yang dirahasiakan antara Inggris dan Prancis pada tahun 1916 membagi Kekaisaran Ottoman menjadi zona pengaruh kolonial. Akibatnya, negara-negara seperti Irak, Suriah, dan Yordania terbentuk bukan karena kesamaan budaya, tetapi karena kompromi kolonial. Di Asia Tenggara, batas-batas negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini ditentukan berdasarkan kontrol wilayah Belanda dan Inggris, bukan karena ikatan budaya.
Warisan kolonial ini tidak berhenti pada peta. Warisan tersebut berlanjut dalam bentuk konflik, ketidakstabilan politik, dan ketegangan etnis. Banyak negara di Afrika terdiri dari berbagai kelompok etnis dengan bahasa, agama, dan budaya yang berbeda, yang sebelumnya tidak pernah menjadi bagian dari satu entitas politik. Hal ini menciptakan konflik internal yang berlanjut bahkan setelah kemerdekaan. Dalam beberapa kasus, konflik ini berubah menjadi perang saudara, kudeta, atau bahkan genosida. Di Timur Tengah, perbatasan buatan sering menjadi akar ketegangan geopolitik yang belum terselesaikan hingga kini.
Saat ini, kita memandang peta dunia sebagai sesuatu yang permanen. Namun, pada kenyataannya, peta adalah hasil dari sejarah yang panjang, rumit, dan sering kali kelam. Kolonialisme tidak hanya menegakkan kekuasaan secara ekonomi atau militer, tetapi juga meninggalkan warisan berupa perbatasan nasional yang kita anggap wajar. Garis-garis yang pernah ditarik oleh orang asing dari balik meja masih menentukan nasib jutaan orang hingga saat ini. Memahami bagaimana peta dunia terbentuk bukan hanya soal geografi, tetapi juga tentang kekuasaan, identitas, dan warisan sejarah yang belum selesai.
Sejarah pembentukan peta dunia mengajarkan kita bahwa apa yang kita lihat sebagai “normal” di peta sebenarnya adalah produk dari keputusan manusia yang penuh kepentingan. Garis-garis perbatasan itu bukan hanya membagi tanah, tetapi juga membagi manusia, budaya, dan sejarah. Dengan memahami asal-usulnya, kita dapat lebih bijak menyikapi konflik dan tantangan global yang masih dipengaruhi oleh warisan kolonialisme tersebut.